Info Terkini
Sabtu, 27 Jul 2024
  • Website berisi tulisan-tulisan Agus S. Saefullah beserta para penulis lainnya
6 Juli 2022

Memoar Perjalananku di Thailand (5)

Rabu, 6 Juli 2022 Kategori : Founder Way / Naufal A.

Tepat pada hari ini saya sudah berada di Provinsi Krabi, Thailand Selatan, selama satu pekan lebih satu hari. Seiring itu rasa penasaran saya terhadap pelbagai hal yang tampak dan terjadi di sini selalu muncul dalam benak saya. Sekaitannya dengan itu, sepertinya tak akan afdal jika tidak lekas saya tumpahkan rasa penasaran tersebut melalui uraian yang bernilai ini.

Pembaca yang budiman, selama menetap di Thailand Selatan, saya selalu bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang Melayu. Rupa mereka sama persis dengan orang-orang di Indonesia. Tak ada perbedaan yang signifikan dari ciri-ciri fisik antara kami selaku pendatang dari Indonesia dengan orang-orang Thailand Selatan yang kini sedang hidup berdampingan dengan kami. Hanya dalam bab adat istiadat dan beberapa bab  budaya lainnya yang berbeda antara kami dengan orang-orang di sini.

Tatkala saya sampai di Provinsi Krabi pada Selasa, 28 Juni yang lalu, saya dibuat heran bukan main karena rupanya kebanyakan orang Melayu di sini tidak bisa bercakap-cakap menggunakan bahasa Melayu. Saat saya berlibur sebentar di pantai Ao Nang, nyaris semuanya tidak bisa diajak berkomunikasi dengan bahasa Melayu.

Sebelum bertugas di lokasi KKN dan PPL Internasional, indikasi ketidakmampuan murid-murid sekolah dalam berbahasa Melayu sudah dapat saya identifikasi. Seingat saya ketika proses penyerahan di Eakkapapsasanawich School selesai lalu saya dan Rangga dijemput oleh Ustadz Yusuf, saya sempat bertanya kepada Ustadz Yusuf tentang kemampuan anak-anak sekolah di sana dalam berbahasa Melayu. Sambil menyetir mobil, beliau lantas menjawab anak-anak tidak bisa berbahasa Melayu. Katanya, hanya guru-guru saja yang bisa berbahasa Melayu. Setelah mendengar jawaban itu, saya pun hanya bisa terdiam menyaksikan pemandangan selama di perjalanan.

Rupanya ucapan Ustadz Yusuf di mobil pada pekan lalu terbukti saya rasakan selama lima hari berada di Jazirahpithayanusorn School dan Pulau Tengoh. Tidak ada satu pun murid atau anak-anak kampung yang bisa berbicara dengan bahasa Melayu dengan baik. Hanya ada satu sampai dua orang yang mampu, itu pun hanya paham sedikit kosakata saja. Sisanya, tidak ada yang paham bahasa Melayu. Padahal, kalau dilihat dari ciri-ciri fisik mereka, semuanya adalah anak-anak muda bangsa Melayu.

Untuk menjawab keheranan itulah sejak dua malam yang lalu saya mencoba menyelidiki tentang penyebab hal demikan. Saya mencari sejumlah artikel ilmiah yang membahas tentang asal usul orang-orang Melayu di Thailand Selatan juga dinamika yang menimpa mereka sehingga dampaknya kini bahasa Melayu yang menjadi identitas utama orang-orang Melayu di Thailand Selatan pudar.

Membahas tentang orang-orang Melayu di Thailand Selatan tampaknya tidak akan afdal kalau tidak membahas orang-orang Melayu yang berada di kawasan Patani. Dua malam yang lalu, saya menemukan sebuah artikel ilmiah berjudul Islam di Thailand (2018) yang ditulis oleh Sanurdi dan diterbitkan dalam jurnal Tasamuh. Ia mengemukakan bahwa sesungguhnya Patani merupakan kawasan yang dihuni oleh orang-orang Melayu dan menjadi pintu masuk agama Islam di Thailand.

Orang-orang Melayu bisa sampai ke kawasan Patani karena ada gelombang perpindahan penduduk Melayu dari kawasan kosmopolitan yang dihuni oleh masyarakat Melayu. Sementara itu, Islam bisa dikenal oleh penduduk Thailand Selatan seiring dengan besarnya pengaruh saudagar-saudagar Islam di Patani yang berkembang menjadi pusat perdagangan terbesar pada sekitar abad ke-13.

Seiring masif dan mengakarnya dakwah Islam Thailand Selatan khususnya Patani, hubungan antara etnis Melayu dengan Islam di Thailand Selatan menjadi kabur. Sehingga, orang-orang selalu mengidentifikasi orang bertenis Melayu sebagai orang-orang Muslim. Hal demikian semakin kentara tatkala Kesultanan Islam Patani mengukuhkan kekuasaannya di Thailand Selatan pada sekitar abad ke-18.

Hadirnya Kesultanan Islam Patani tak syak lagi menjadi faktor utama perkembangan segala bentuk kebudayaan Melayu. Di bawah naungan kesultanan ini, tumbuh ratusan bahkan ribuan pesantren di kawasan Patani dan sekitar Thailand Selatan. Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul Dinamika Pendidikan Islam di Thailand Abad 19-20 (2020) tulisan Aslan yang diterbitkan oleh jurnal Nazhruna diterangkan bahwa kemunculan pesantren-pesantren tersebut, selain turut berperan dalam Islamisasi di Thailand Selatan, lembaga pendidikan ini juga turut berperan mengembangkan kebudayaan Melayu.

Dalam tradisi keilmuan mereka, para guru di pesantren Patani kerapkali menggunakan kitab-kitab berbahasa Jawi yang berasal dari kawasan Melayu untuk sumber pembelajaran para santri. Selain itu, bahasa Melayu wajib dipelajari oleh santri-santri dari mana saja mereka berasal.

Iklim yang amat baik bagi perkembangan Melayu dan Islam di Thailand Selatan mulai berubah memasuki abad ke-20. Badai untuk kebudayaan Melayu dan agama Islam menerjang Thailand Selatan seiring masuknya kawasan ini ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam yang menjadikan Budha sebagai agama resminya.

Kerajaan Siam yang nantinya berganti nama menjadi Kerajaan Thailand menjalankan suatu agenda yang masyhur dikenal dengan Siamisasi. Agenda ini pada dasarnya merupakan program asimilasi yang dilakukan oleh Kerajaan Thailand agar masyarakat Melayu di Thailand Selatan berperilaku dan menganut kebudayaan ala Siam yang dikembangkan oleh mereka. Kerajaan Thailand melancarkan agenda asimilasi ini melalui berbagai bidang seperti sosial, religi, ekonomi, pendidikan, dan politik.

Siamisasi di ranah pendidikan menjadi sarana yang paling efektif untuk dilakukan Kerajaan Thailand. Phaosan Jehwae dalam artikel berjudul Dilema Bahasa Melayu sebagai Bahasa Pengantar Pembelajaran di Pondok Pesantren Patani di Thailand Selatan (2014) yang diterbitkan oleh jurnal Ta’dib menerangkan bahwa dengan kuasa penuh atas bidang pendidikan, Kerajaan Thailand telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan upaya mereduksi pengaruh kebudayaan Melayu di sekolah-sekolah Thailand Selatan sepanjang dasawarsa 1940 sampai dengan 1980-an.

Phaosan Jehwae secara garis besar menerangkan, semenjak Kerajaan Thailand berkuasa atas wilayah selatan, mereka membatasi pengunaan bahasa Melayu di sekolah-sekolah terutama sekolah Islam. Yang semula menjadi bahasa pengantar utama, seiring waktu mulai digantikan oleh bahasa Siam. Sedangkan, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa pengantar untuk pelajaran agama Islam saja. Tak hanya itu, Kerajaan Thailand juga memberikan bantuan keuangan kepada sekolah-sekolah di Thailand Selatan yang bersedia menjadikan bahasa Siam sebagai pengantar. Dengan begitu, dapat pembaca bayangkan sendiri betapa masifnya agenda Siamisasi dilakukan oleh Kerajaan Thailand.

Memoar hari ini cukup serius. Tapi saya rasa ini penting untuk diketahui oleh pembaca sekalian. Sehubungan baris paragraf sudah terlampau panjang. Barangkali, di lain waktu saya bisa lanjutkan pembahasan aktual nan krusial ini. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Bumi Allah, Krabi, Rabu 6 Juli 2022.

Tulisan Lainnya

Oleh : admin

Permintaan Hum Ku

Oleh : admin

Puing

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar

 

BUKU-BUKU

TULISAN AGUS S. SAEFULLAH
DAN KAWAN-KAWAN

Diterbitkan :
Hafidz Qur’an 4,5 tahun
“Tabarak seorang anak yang lahir pada tanggal 22 Februari 2003 dinyatakan lulus oleh penguji dari..
Diterbitkan :
Ulama Gila Baca
“Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya” Kesaksian Abu Hasan..

Agenda Terdekat

Trik menjadi seorang penulis adalah menulis, lalu menulis dan terus menulis.

Galeri Pelatihan

Ahlan wa Sahlan

0 0 4 8 0 7
Total views : 10780
Salam Silaturahmi