Info Terkini
Sabtu, 27 Jul 2024
  • Website berisi tulisan-tulisan Agus S. Saefullah beserta para penulis lainnya
19 Mei 2022

Kasman Singodimedjo dan Toedjoeh Kata

Kamis, 19 Mei 2022 Kategori : Founder Way / Naufal A.

“Di waktu sekitar Proklamasi adalah lazim kami di kalangan pemuda menyebut Sukarno-Hatta-Kasman, di mana Bapak Kasman dirasakan sebagai tokoh militer yang terdepan ketika itu, sebagaimana kombinasi 3 nama ini berkali-kali terdapat dalam buku TNI I (yang saya tulis di tahun 1953).”, begitulah kata A.H. Nasution, seorang Jenderal TNI yang kesohor manakala menerangkan situasi zaman Revolusi Kemerdekaan dalam buku biografi Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982).

A.H. Nasution menyebut dua nama orang yang barang tentu sudah masyhur yaitu Sukarno dan Hatta. Namun, bagi nama yang terakhir kedengarannya jarang sekali disebut-sebut dewasa ini. Lalu, sebenarnya, siapa dan bagaimana peran yang dimainkan oleh sosok bernama Kasman itu?

Riwayat Kasman Singodimedjo

Sosok yang disebut Kasman di atas memiliki nama lengkap Kasman Singodimedjo (1904-1982). Ia adalah seorang pejuang Indonesia yang aktif dalam dunia pergerakan sejak zaman Hindia Belanda sampai Indonesia merdeka. Bolehlah dikatakan Kasman ini satu angkatan dengan tokoh-tokoh nasional sekaliber Sukarno dan Hatta.

Kasman adalah anak pertama dari empat besaudara. Ia dilahirkan pada 25 Februari 1904 dari seorang ayah bernama Singodimedjo dan ibu yang bernama Kartini.

Kasman adalah anak seorang lebai dan ibu rumah tangga yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda. Ia belajar di HIS, MULO, sempat belajar juga  di STOVIA (namun pindah ke AMS B di Yogyakarta lantaran perubahan tata administrasi), GHS (Geneeskundinge Hoge School), dan yang terakhir lulus meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum) dalam jenjang pendidikan Recht Hoge School (RHS).

Sebagai anak dari orang tua berpenghasilan rendah, Kasman dituntut banting tulang mencari biaya untuk keperluan sekolah. Ia mengaku sejak muda telah merintis usaha seperti menjual sesuatu atau menawarkan jasa kepada keluarga orang maupun teman sebayanya. Kasman sebagai anak tertua juga dituntut untuk membiayai keperluan sekolah ketiga adiknya yang perempuan semua yakni, Kasmah, Kasiyem, Soertiyati.

Semasa muda, Kasman adalah sosok yang memiliki kepribadian dan fisik yang baik.

“Memang benar Kasman seorang pemuda yang perkasa; fisiknya yang pendek tampak kekar dan mampu menunjukkan kekuatan serta selalu tegas dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling”, tulis penulis biografi Kasman.

Sejak bergumul dengan kawan-kawannya di sekolah, Kasman mulai bergabung dengan sejumlah organisasi pergerakan. Mula-mula dalam sebuah perkumpulan Koetoeardjosche Studerenden Bond (KSB). Tak lama, Kasman aktif di Jong Islamieten Bond (JIB) pada pertengahan 1920-an. Melalui JIB inilah, kiprah Kasman melejit sampai akhirnya ia didaulat menjadi Ketua Hoofdbestuur (Pengurus Besar) JIB. Kasman juga bergabung dengan Muhammadiyah dan organisasi kepanduan NATIPIJ yang berada di bawah naungan JIB.

Kasman, Ki Bagus, dan Polemik Tujuh Kata

Seiring waktu, karir aktivisme Kasman semakin melejit. Ketika Jepang datang kemudian membentuk organisasi-organisasi semi-militer bagi kalangan bumiputera untuk membantu mereka menghadapi Sekutu, Kasman dipercaya oleh Jepang untuk menjabat sebagai Daidancho, sebuah jabatan militer yang prestisius kala itu.

Saking terkenal karena memiliki reputasi yang baik, sehari setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Kasman yang sedang rapat bersama Daidan dipanggil Sukarno secara mendadak ke Pejambon untuk bergabung menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dalam biografi Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982), Kasman bercerita ihwal pemanggilan ini:

“Sesunguhnya belum lagi briefing itu selesai, mendadak dibertahukanlah kepada saya, bahwa ada panggilan dari Bung Karno sebagai Proklamator Kemerdekaan Indonesia, terutama sebagai Ketua Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia, supaya saya sebagai anggauta segera hadir di sidang panitya tersebut di Pejambon (kini gedung Departemen Kehakiman)”.

Lukman Hakiem dalam Utang Republik pada Islam (2021) menerangkan bahwa di balik pemanggilan terhadap Kasman itu terdapat maksud melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Muhammadiyah yang gigih menolak penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.

Sekaitannya dengan hal di atas, Mohammad Hatta dalam otobiografi berjudul Untuk Negeriku Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011) menerangkan sebelum terjadi cekcok dengan Ki Bagus,  kemarin sore (setelah proklamasi) dirinya dijumpai opsir Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan keberatan rakyat Nasrani dan Katolik di Indonesia Timur atas preambule Piagam Jakarta. Menurut mereka isi preambule Piagam Jakarta diskrminatif walaupun tidak mengikat rakyat beagama non-Islam. Oleh karenanya, Hatta lekas meminta pertimbangan tokoh-tokoh Islam sebelum sidang PPKI dimulai untuk menghapus tujuh kata yang menyinggung soal syariat Islam.

Sesampainya di Pejambon, Kasman memerhatikan gedung sedang hangat oleh lobying anggota PPKI. Ia langsung mengetahui pangkal persoalan yang tengah dibicarakan mereka, yakni masalah preambule Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata berbunyi; “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Menurut Kasman, seharusnya persoalan mengenai hal ini sudah selesai karena sebelumnya Piagam Jakarta sudah disepakati dengan bulat oleh Panitia Sembilan. Ia berpendapat, bahwa konsekuensi tujuh kata tersebut tidak akan mengenai rakyat Indonesia yang beragama di luar Islam.

Sekalipun begitu namun situasi kala itu dirasa cukup tegang sebab Ki Bagus tetap gigih menolak usulan pencoretan tujuh kata itu.

“Dalam pada itu pembicaraan dalam lobbying mengenai usul materi tersebut agak tegang dan sengit juga.”, kata Kasman.

Secara pribadi, Kasman ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta yang sudah disepakati oleh Panitia Sembilan. Namun, Kasman melihat ada kemungkinan terburuk jika saat itu polemik tidak segera diselesaikan. Sambil memakai bahasa Jawa yang lembut, Kasman berbicara baik-baik pada Ki Bagus.

Kasman mengatakan pada Ki Bagus, jika perdebatan ini tidak segera diselesaikan, ia khawatir tentara Jepang dan Sekutu mengusik negara yang baru saja dinyatakan merdeka kemarin. Ia menyarankan supaya Ki Bagus terutama umat Islam patuh pada janji yang dikatakan Sukarno bahwa dalam kurun enam bulan lagi peraturan perundang-undangan akan disempurnakan.

“Entah karena dilobbi sesama kader Muhammadiyah atau karena kepiwaian Kasman melobbi dengan bahasa Jawa halus, Ki Bagus luluh hatinya.”, tulis Lukman.

Ki Bagus pada akhirnya menyepakati perubahan kata-kata tersebut sehingga yang semula bunyinya; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus lalu diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kasman yang berhasil melobi Ki Bagus pada dasarnya adalah orang baru di PPKI sehingga ia tidak terlalu memahami perjuangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam -termasuk Ki Bagus- di BPUPKI wabil khusus Panitia Sembilan. Akhirnya, usaha yang susah payah diikhtiarkan tokoh-tokoh Islam itu sirna dalam waktu 15 menit saja.

Janji yang Tidak Ditepati

Sebagai orang yang didaulat menjadi anggota PPKI sehari setelah proklamasi, Kasman menyatakan bahwa umat Islam tidak perlu berkecil hati atas perubahan ini. Ia tetap percaya dan berbaik sangka pada Sukarno yang berjanji akan menyempurnakan Undang Undang Dasar dalam waktu enam bulan ke depan.

Dalam kenyataannya, janji yang diucapkan Sukarno itu hilang ditelan masa karena tak lama setelah itu seluruh elemen bangsa Indonesia disibukkan dengan urusan mempertahankan kemerdekaan. Kasman sendiri yang dipercaya menjabat sebagai Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pertama terlibat aktif dalam usaha ini.

Lama tidak dibahas oleh para pemimpin Indonesia, saluran untuk menagih janji tentang hal ini akhirnya muncul juga. Kala itu hasil Pemilu 1955 sudah diumumkan dan terdapat beberapa orang namanya yang masuk ke dalam anggota Majelis Konstituante, salah satunya ialah Kasman dari Partai Masjumi.

Kasman yang saat itu terafiliasi dengan front Islam lantas tampil paling depan menuntut janji PPKI di hadapan peserta sidang yang terdiri atas kaum sekuler-komunis dan Islam.

Kasman dengan penuh semangat berpidato menceritakan secara runut penyebab munculnya janji tersebut.

“Saudara, Ketua saya masih ingat bagaimana ngototnya almarhum Bagus Hadikusumo, Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan ke dalam Muqaddimah dan Undang-Undang 1945. Begitu ngototnya saudara Ketua, sehinga Bung Karno dan Bung Hatta pun tidak dapat mengatasinya…..”, ucap Kasman.

Kasman melanjutkan pidatonya.

“…saudara Ketua maka saya sebagai anggota dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tersebut, di dalam Dewan Konstituante yang terhormat ini, ingin memperingatkan dengan khidmat bahwa kompromi atau gentlemen’s agreement itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari pada “janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu kepada golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut….”

Kasman dengan nada bicara yang menggebu-gebu menuntut di hadapan sidang Konstituante bahwa inilah saat untuk umat Islam menagih janji yang pernah diutarakan pada mereka sesaat setelah Prokalamsi Kemerdekaan.

“…saudara Ketua janganlah kami golongan Islam di Dewan Konstituante sekarang ini di-fait-a-compli-kan lagi dengan anggapan-anggapan semacam Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a-compli semacam itu sekali ini, saudara Ketua hanya akan memaksa dada meledak.”

Kasman Singodimedjo selama di Sidang Konstituante tampil sangat memukau. Dengan bekal kecerdasannya sebagai lulusan fakultas hukum, ia muntahkan pelbagai hal yang ada di isi kepalanya demi meloloskan Islam menjadi dasar negara. Saat itu, ia seolah benar merepresentasikan akhiran namanya ‘Singodimedjo’ yang walaupun sesungguhnya bukan berarti singa. Namun, boleh diibaratkan ia tampil bak singa di antara meja persidangan. Menjadi juru bicara umat Islam yang kala itu diwakili oleh Partai Masjumi, NU, PSII, dan Perti.

Upaya keras dari Kasman disambung oleh tokoh-tokoh Islam lain. Di antaranya oleh Mohammad Natsir, Prof Abdul Kahar Muzakkir, dan K.H. M. Isa Anshary. Tuntutan ini tentu memunculkan reaksi yang keras pula dari tokoh-tokoh nasionalis-sekuler dan komunis dalam sidang. Tampaknya, jika digambarkan, mungkin Sidang Konstituante ibarat arena adu gagasan para intelektual bangsa ini.

Sayangnya, upaya keras Kasman bersama juru bicara umat Islam di forum yang sah ini berakhir dengan sia-sia. Sebabnya bukan karena kuatnya penentangan dari lawan-lawan di forum sidang melainkan Konstituante didekritkan Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959. Padahal, menurut Wilopo dan Prawoto, selaku Ketua dan Wakil Ketua Konstituante, progress Konstituante sudah mencapai 90%. Sekalipun demikian pada akhirnya Konstituante harus tunduk juga dengan keinginan Presiden Sukarno yang sudah semakin tidak sabar melihat situasi negeri yang kacau.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar

 

BUKU-BUKU

TULISAN AGUS S. SAEFULLAH
DAN KAWAN-KAWAN

Diterbitkan :
Hafidz Qur’an 4,5 tahun
“Tabarak seorang anak yang lahir pada tanggal 22 Februari 2003 dinyatakan lulus oleh penguji dari..
Diterbitkan :
Ulama Gila Baca
“Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya” Kesaksian Abu Hasan..

Agenda Terdekat

Trik menjadi seorang penulis adalah menulis, lalu menulis dan terus menulis.

Galeri Pelatihan

Ahlan wa Sahlan

0 0 4 8 0 7
Total views : 10780
Salam Silaturahmi