Info Terkini
Rabu, 04 Des 2024
  • Website berisi tulisan-tulisan Agus S. Saefullah beserta para penulis lainnya
10 Juni 2022

Hasad Yang Baik

Jumat, 10 Juni 2022 Kategori : Khazanah dan Hikmah / Qolamunetizen

عن ابن مسعود -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «لا حَسَدَ إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا، فسَلَّطَه على هَلَكَتِهِ في الحَقِّ، ورجل آتاه الله حِكْمَة، فهو يقضي بها ويُعَلِّمَها». وعن ابن عمر -رضي الله عنهما-، عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله القرآن، فهو يقوم به آناء الليل وآناء النهار، ورجل آتاه الله مالا، فهو ينفقه آناء الليل وآناء النهار».

[صحيح.] – [حديث ابن مسعود رضي الله عنه: متفق عليه. حديث ابن عمر رضي الله عنه: متفق عليه.]

Dari Ibnu Mas’ud- raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak boleh hasad ‎‎(iri hati) kecuali pada dua orang: Orang yang Allah anugerahkan baginya harta, lalu ia infakkan di jalan kebenaran, dan orang yang Allah karuniakan hikmah (ilmu yang berdasarkan Al-Qur`ān dan Sunnah), lalu ia memutuskan perkara/mengadili dengannya dan mengajarkannya.” Dan dari Ibnu Umar -raḍiyallāhu ‘anhumā-, dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda, “Tidak boleh hasad (iri hati) kecuali kepada dua orang; Orang yang Allah anugerahi hafalan Al-Qur`ān, lalu ia salat dengan membacanya malam dan siang, dan orang yang Allah karuniakan baginya harta, lalu ia menginfakkannya siang dan malam.”(Muttafaq ‘alaihi)

Menurut para jumhur ulama, hasad adalah dengki, dengan menginginkan nikmat orang lain hilang. Mayoritas pendapat mengatakan, hasad adalah akhlak tercela yang amat dibenci oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah:

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).

عن ابن مسعود -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «لا حَسَدَ إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا، فسَلَّطَه على هَلَكَتِهِ في الحَقِّ، ورجل آتاه الله حِكْمَة، فهو يقضي بها ويُعَلِّمَها». وعن ابن عمر -رضي الله عنهما-، عن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله القرآن، فهو يقوم به آناء الليل وآناء النهار، ورجل آتاه الله مالا، فهو ينفقه آناء الليل وآناء النهار».

[صحيح.] – [حديث ابن مسعود رضي الله عنه: متفق عليه. حديث ابن عمر رضي الله عنه: متفق عليه.]

Dari Ibnu Mas’ud- raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tidak boleh hasad ‎‎(iri hati) kecuali pada dua orang: Orang yang Allah anugerahkan baginya harta, lalu ia infakkan di jalan kebenaran, dan orang yang Allah karuniakan hikmah (ilmu yang berdasarkan Al-Qur`ān dan Sunnah), lalu ia memutuskan perkara/mengadili dengannya dan mengajarkannya.” Dan dari Ibnu Umar -raḍiyallāhu ‘anhumā-, dari Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda, “Tidak boleh hasad (iri hati) kecuali kepada dua orang; Orang yang Allah anugerahi hafalan Al-Qur`ān, lalu ia salat dengan membacanya malam dan siang, dan orang yang Allah karuniakan baginya harta, lalu ia menginfakkannya siang dan malam.”(Muttafaq ‘alaihi)

Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- di sini mengisyaratkan bahwa hasad ‎‎(iri hati) itu bermacam-macam, di antaranya hasad yang tercela dan ‎diharamkan secara syar’i, yaitu seseorang menginginkan hilangnya kenikmatan dari saudaranya. Ada ‎pula hasad yang mubah/dibolehkan yaitu seseorang melihat nikmat ‎duniawi pada diri orang lain lalu ia menginginkan kenikmatan serupa ‎untuk dirinya. Dan ada pula hasad yang terpuji dan dianjurkan oleh ‎syariat yaitu seseorang melihat nikmat agama pada orang lain lalu ia ‎menginginkannya juga untuk dirinya. Itulah yang dimaksudkan oleh Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- dengan sabda beliau, “Tidak boleh hasad (iri ‎hati) kecuali pada dua orang” yakni hasad itu berbeda jenis dan ‎hukumnya sesuai dengan perbedaan jenisnya. Hasad ini tidak ‎terpuji serta dianjurkan secara syar’i kecuali pada dua perkara:‎ Perkara pertama: Apabila ada orang yang kaya lagi bertakwa, ‎Allah menganugerahkan kepadanya harta yang halal, lantas ia menginfakkannya ‎di jalan Allah -Ta’ālā-, lalu ia berangan-angan agar dirinya seperti orang itu dan ‎ia iri kepadanya dengan nikmat ini.‎ Perkara kedua: Apabila ada orang yang berilmu, Allah ‎menganugerahinya ilmu yang bermanfaat, ia mengamalkannya, ‎mengajarkannya kepada orang lain dan ia berhukum dengannya di ‎antara manusia, lalu ia berangan-angan agar dirinya menjadi seperti orang itu.

“Hasad yang baik” atau Ghibthoh yaitu keinginan terhadap sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, tanpa rasa dengki terhadap pemiliknya. Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita sebagai hambanya untuk berlomba-lomba dalam perihal kebaikan seperti yang tersurat dalam surat Al-Baqarah ayat 148 :

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam hadits lain menerangkan mengenai “Hasad yang baik” atau  Ghibthoh dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”

Berdasarkan redaksi hadits di atas menerangkan bahwa hasad itu ada yang diperbolehkan atau bisa disebut ghibtoh kepada dua orang, yaitu yang pertama kepada orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta, tetapi bukan untuk digunakan foya-foya atau beli ini beli melainkan untuk digunakan dijalan yang diridhai dan di cintai oleh Allah subhanahu wata’ala yaitu dengan cara berinfak fiisabilillah.

Dan yang kedua yaitu orang yang dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala ilmu yang begitu penting sekali sebagai tuntunan umat manusia menuju surga-Nya Allah subhanahu wata’ala yaitu ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Quran sebagai pedoman umat manusia, sebagai penerang (Nur) dalam kegelapan berselimut kebodohan tanpa tahu arah jalan kehidupan yang benar dan lurus yang semuanya terdapat dalam Al-quran.

As-Sunah juga tidak kalah penting, kita sebagai umat manusia kita bisa mengamalkan apa-apa yang Rasulullah sallawlahu ‘alaihi wasallam telah kerjakan baik berupa perkataan maupun perbuatan beliau. Sehingga gaya hidup kita dan keseharian kita menjadi lebih baik lagi dan lebih terorganisir dengan mengamalkan apa-apa yang telah Rasulullah contohkan kepada kita semua.

Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hasad yang dimaksud di sini adalah hasad yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan hasad yang tercela.” Ibnu Baththol mengatakan pula, “Inilah yang dimaksud dengan judul bab yang dibawakan oleh Imam Bukhari yaitu “Bab Ghibthoh dalam Ilmu dan Hikmah”. Karena siapa saja yang berada dalam kondisi seperti ini (memiliki harta lalu dimanfaatkan dalam jalan kebaikan dan ilmu yang dimanfaatkan pula, pen), maka seharusnya seseorang ghibthoh (berniat untuk mendapatkan nikmat seperti itu) dan berlomba-lomba dalam kebaikan tersebut.”

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud hadits di atas adalah tidak ada keringanan pada hasad kecuali pada dua hal atau maksudnya pula adalah tidak ada hasad yang baik (jika memang benar ada hasad yang baik). Disebut hasad di sini dengan maksud hiperbolis, yaitu untuk memotivasi seseorang untuk meraih dua hal tersebut. Sebagaimana seseorang katakan bahwa hal ini tidak bisa digapai kecuali dengan jalan yang keliru sekali pun. Dimotivasi seperti ini karena adanya keutamaan jika seseorang menggapai dua hal tersebut. Jika jalan yang keliru saja ditempuh, bagaimana lagi jika jalan yang terpuji yang diambil dan mungkin tercapai. Intinya masalah ghibtoh ini sejenis dengan firman Allah,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” Karena musobaqoh yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan, siapakah nantinya yang terdepan.

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan, maka itu dianjurkan. Sedangkan maksud dari hadits di atas adalah tidak ada ghibtoh (hasad yang disukai) kecuali pada dua hal atau yang semakna dengan itu.”

6 Komentar

Faturohman , Sabtu 11 Jun 2022

Lanjutkan

RIZAL RAHMAN , Sabtu 11 Jun 2022

ohh iya ya mantaf nih

Rijal fadilah , Sabtu 11 Jun 2022

Kalo aku siih yes

Rahman , Sabtu 11 Jun 2022

Wajib hasud

Duta , Sabtu 11 Jun 2022

Tingkatkan hasad baik kalian.

Wihdan , Sabtu 11 Jun 2022

Wajib sih ini di MD

Tinggalkan Komentar

 

BUKU-BUKU

TULISAN AGUS S. SAEFULLAH
DAN KAWAN-KAWAN

Diterbitkan :
Hafidz Qur’an 4,5 tahun
“Tabarak seorang anak yang lahir pada tanggal 22 Februari 2003 dinyatakan lulus oleh penguji dari..
Diterbitkan :
Ulama Gila Baca
“Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya” Kesaksian Abu Hasan..

Agenda Terdekat

Trik menjadi seorang penulis adalah menulis, lalu menulis dan terus menulis.

Galeri Pelatihan

Ahlan wa Sahlan

0 0 5 8 9 2
Total views : 12417
Salam Silaturahmi