Info Terkini
Sabtu, 27 Jul 2024
  • Website berisi tulisan-tulisan Agus S. Saefullah beserta para penulis lainnya
5 Mei 2022

Mudik Hoax dan Flexing (Catatan Mudik Lebaran 2022 Bag-2)

Kamis, 5 Mei 2022 Kategori : Khazanah dan Hikmah / Qolamunetizen

Saya mudik pulang ke kampung halaman. Ya iyalah. Mudik kan katanya berasal dari bahasa Betawi yang maknanya pulang ke udik atau kampung. Meskipun kata  udik sendiri aslinya berarti kampung lawan dari kota secara umum dan tidak dikhususkan kampung halaman atau daerah kelahiran.

Kata udik juga sering digunakan secara kiasan untuk orang yang dianggap tidak mengenal sopan santun. Secara sarkasme  muncullah ungkapan  ‘ dasar orang udik” yang disematkan kepada orang yang berperilaku tidak sopan atau  bodoh.

Mengidentikkan orang udik dengan ketidaksopanan  mungkin hanyalah persepsi yang dulu terbangun dalam kurun waktu tertentu. Tak ubahnya seperti persepsi bahwa orang kota itu individualis. Sebagai orang yang mengalami tumbuh kembang di desa dan kemudian bermigrasi ke kota, saya melihat bahwa perilaku sosial yang membedakan masyarakat kota dan desa tidak selamanya bersifat hitam putih. Tentang kesopanan misalnya, tidak bisa men-generalisir- bahwa masyarakat  kota sopan  dan masyarakat desa tidak sopan atau sebaliknya.

Di kampung saya, sejak dulu sampai sekarang masyarakatnya sangat ramah dan memuliakan tamu. Orang kampung tidak pernah hitung-hitungan untuk menyuguhkan jamuan pada tamu, apalagi tamu dari kota meskipun orang asing.

Dalam obrolan ringan “ngalor ngidul” dengan orang tua di kampung,  banyak terselip cerita yang menakjubkan  tentang hal ini. Ada cerita kerusakan tower seluler karena sambaran petir yang berada di pekarangan tetangga persis di depan rumah ortu. Beberapa teknisi yang memperbaikinya diberi tumpangan bermalam dan dijamu secara gratis oleh beberapa tetangga. Ada juga cerita tentang KKN Mahasiswa yang merupakan KKN pertama masuk kampung ortu. Kebetulan para mahasiswa menempati rumah saudara yang tidak ditempati. Ketika saya bertanya tentang penyediaan konsumsi harian mereka, ibu saya menuturkan bahwa mereka masak sendiri. Tapi orang kampung dijatah secara bergiliran untuk memberi penganan dan tambahan lauk. Ibu saya juga masih ingat bahwa ketika itu kejatah menyediakan tempe goreng.

Jadi, sebetulnya sebagai orang yang berasal dari udik agak kurang nyaman dengan persepsi negatif tentang udik. Tapi kan persepsi umum tidak akan hilang dengan diprotes apalagi diomeli. Suatu persepsi akan hilang dengan munculnya persepsi baru yang mengoreksinya. Pun diksi udik sebagai kiasan perilaku negatif lambat luan tidak akan terpakai.

Mudik saat lebaran atau hari raya Idul Fitri menjadi tradisi yang seakan-akan ‘wajib’, terutama bagi mereka yang masih memiliki orang tua di kanpung.
Bagi yang  sudah tidak memiliki orang tua di kampung tapi masih ada saudara tua atau paman, mudik sepertinya dianggap “sunnah” saja. Bagi yang di kampung tinggal saudara muda saja, mudik dianggap “mubah”. Sedangkan mereka yang sudah tidak punya kerabat di kampung mudik seakan-akan menjadi “makruh”. Kelompok terakhir ini kalau ditanya, “Mudik tidak?” Mereka menjawab, ” Mudik ke mana?, sudah tidak punya kerabat di kampung. Masak mudik gak ada yang dituju?, kan, jadi wagu (tidak pantas).”

Beruntung saya masih punya orang tua lengkap dan banyak kerabat di kampung. Keberadaan orang tua menjadi magnet terbesar bagi saya dan tentu juga bagi kebanyakan orang untuk mudik. Dengan adanya otang tua di kampung, mudik tidak hanya menunaikan kewajiban birrul walidain, tetapi juga memenuhi kebutuhan jiwa kita untuk melengkapi kebahagiaan.

Mudik menjadi momen bertemunya dua kutub yang berbeda yang menyatu dan mewujudkan kebahagiaan. Pada saat mudik antara anak dan orang tua memiliki fantasi yang tidak sama, tetapi ketika keduanya bertemu melahirkan kebahagiaan yang fantastis bagi anak maupun orang tua.

Selain  motivasi bertemu orang tua dan kerabat atau bersilaturrahim, mudik juga bisa memiliki motivasi turunan. Seperti motivasi refreshing dan berpariwisata menikmati suasana yang berbeda dari keseharian. Tentu ini menjadi bonus yang sah dan halal.

Ada pula motivasi bernostalgia dengan  teman-teman lama yang dirindukan, atau kuliner kesukaan, atau bahkan peristiwa-peristiwa manis yang selalu dalam kenangan. Itu pun bagus-bagus saja asalkan bukan hal-hal negatif atau berpotensi melahirkan masalah baru seperti CLBK alias cinta lama berkobar kembali. Tapi boleh sih, bagi para bujang yang di kota tidak ketemu jodoh, dan juga duda atau janda yang ingin mengakhiri kesepiannya. Bagi lelaki yang sudah beristri juga boleh kalau ingin berpoligami dan secara persayaratan agama, sosial, undang-undang dan teknis memungkinkan.

Kalau saya biasanya bernostalgia dengan kuliner kesukaan, yaitu bakso malang, pecel di sebuah warung kecil yang ada di dalam Pasar Lawang dan Rujak Cingur, rek.

Yang harus diwaspadai ketika mudik, adanya motivasi turunan berupa pamer kesuksesan. Di sini perlu saya sampaikan disclaimer dulu. Tulisan ini tidak untuk menciutkan keinginab bersedekah dan berbagi rezeki dengan  ortu, kerabat dan handai taulan. Kalau itu sih amalam mulia asalkan dilakukan dengan ikhlas.

Adapun pamer kesuksesan yang harus dihindari biasanya ada tiga bentuk. Pertama orang sukses yang berusaha megoptimalkan tampilannya yang penuh glamor baik dalam pakaian, perhiasan dan kendaraan. Orang seperti ini memang sukses kehidupan materinya, tapi ia tidak mau tampil sederhana lantaran takut dianggap tidak sukses.

Kedua, orang tidak sukses yang hanya
menebar hoaks. Orang seperti ini bukanlah orang sukses, tapi selalu menceritakan kesuksesan dan angin surga tentang kehidupannya di kota. Orang seperti ini biasanya ketika merantau ke kota niatnya ingin mengubah nasib. Namun qodarallah nasibnya tidak berubah. Sedangkan ia belum bisa realistis menghadapi kenyataan sehingga malu kalau diketahui oleh orang-orang kampungnya.

Ketiga, orang yang melakukan flexing. Yaitu mereka yang pulang kampung dengan membawa kemewahan untuk menunjukkah kepada orang kampung bahwa ia sukses dan kaya. Tetapi ia sebenarnya tidaklah kaya atau sekaya  penampilan yang dipamerkannya. Orang-orang seperti ini  biasanya memamerkan kekayaan milik majikan atau kantornya. Padahal ia hanya sekedar karyawan atau pegawai rendahan. Ada juga yang melakukan flexing memaksa diri tampil mewah, seperti orang yang memaksa diri membeli kendaraan baru  untuk mudik dengan berhutang, sedangkah ia tidak punya kecukupan penghasilan untuk mengangsur atau melunasi hutangnya. Prinsip yang dipegang “tembak dulu resiko dipikir nanti”.

Masih banyak lagi catatan mudik yang dapat dituangkan dalam tulisan ini untuk dibagi kepada para pembaca. Mungkin lain waktu bisa disambung lagi.

Namun perlu disampaikan lagi bahwa ini sekedar catatan ringan yang tidak ada pretensi menghadirkan ketercerahan publik. Jika ada manfaatnya, itulah secercah cahaya yang Allah selipkan untuk pembaca melalui tulisan ini. Jika isinya hanya  rangkaian kata-kata tanpa makna,  itulah semurni-murninya kekurangan dari si pembuat catatan. Tidak lupa saya menyampaikan mohon maaf lahir batin.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar

 

BUKU-BUKU

TULISAN AGUS S. SAEFULLAH
DAN KAWAN-KAWAN

Diterbitkan :
Hafidz Qur’an 4,5 tahun
“Tabarak seorang anak yang lahir pada tanggal 22 Februari 2003 dinyatakan lulus oleh penguji dari..
Diterbitkan :
Ulama Gila Baca
“Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya” Kesaksian Abu Hasan..

Agenda Terdekat

Trik menjadi seorang penulis adalah menulis, lalu menulis dan terus menulis.

Galeri Pelatihan

Ahlan wa Sahlan

0 0 4 8 0 7
Total views : 10780
Salam Silaturahmi