Sejak Pemerintah meneken Keppres RI Nomor 22 pada 2015 silam, tanggal 22 Oktober resmi menjadi agenda penting dalam almanak Republik Indonesia. Setiap kalender kita menunjukkan tangal 22 Oktober, pejabat publik maupun masyarakat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Santri Nasional. Pada setiap hari peringatan ini, para santri dan kiai dari berbagai pondok pesantren nampak selalu tampil berduyun-duyun mengenakan pakaian yang rapi, untuk berkumpul di suatu tempat dalam rangka menyemarakkan momentum yang sarat akan makna.
Penetapan Hari Santri Nasional yang jatuh pada 22 Oktober sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari konteks peristiwa sejarah yang meliputinya. Kumandang Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh para kiai pada 22 Oktober 1945 menjadi tonggak kebangkitan perlawanan kaum santri terhadap monster kolonialisme dan imperialisme yang hendak mengukuhkan kembali kuasanya di Bumi Nusantara. Perlawanan yang dikobarkan oleh kaum santri itulah yang belakangan ini mendapatkan sorotan dan dinilai sebagai komitmen kelompok masyarakat tersebut dalam menjaga dan memelihara kedaulatan Republik Indonesia sedari masa awal kemerdekaan. Dengan begitulah, pemerintah menandatangani Keppres yang telah disebutkan di muka.
Diskursus mengenai kiprah santri di Indonesia, sesungguhnya memiliki akar historis yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan yang kerap disosialisasikan ke publik. Jauh sebelum Resolusi Jihad dikumandangkan, kaum santri telah memegang peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Kaum santri yang dalam konteks ini terdiri atas para kiai juga santri-santrinya telah sejak lama menempati struktur kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Clifford Geertz menjadikan kaum santri sebagai salah satu objek penelitiannya karena dalam kenyataannya mereka ini merupakan kelompok sosial yang sangat berpengaruh di Indonesia, di samping kaum priyayi dan abangan.
Kaum Santri dan Pesantren
Kaum santri dan pesantren merupakan kedua unsur yang mustahil untuk dipisahkan. Keduanya akan senantiasa berjalan berdampingan dan berjalin berkelindan. Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia (2011) menerangkan bahwa secara etimologis, istilah pesantren sendiri berasal dari kata “santri” yang ditambahi dengan imbuhan “pe-“ dan “–an”.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, terdapat sebagian ahli yang berpendapat bahwa pesantren merupakan produk kebudayaan Hindu-Budha yang mengalami modifikasi. Kaum cendekiawan Hindu-Budha membangun “mandala” yang biasanya digunakan sebagai tempat menuntut ilmu. Akan tetapi, seiring dengan meluasnya pengaruh Islam di Nusantara, mandala lantas bertransformasi menjadi tempat menuntut ilmu bagi umat Islam.
Pesantren sendiri diperkirakan telah berakar di dalam urat nadi kehidupan masyarakat Nusantara sejak 800 tahun yang lalu. Pesantren diduga telah eksis di Nusantara seiring dengan berlangsungnya Islamisasi di kawasan ini. Kebutuhan akan suatu lembaga yang dapat menjadi pusat pendidikan Islam bagi segenap masyarakat yang belum mengenal ajaran Islam diperkirakan muncul sebagai motif berdirinya pesantren pada masa tersebut.
Kehadiran pesantren diyakini oleh sebagian ahli sebagai faktor utama yang mendorong pesatnya Islamisasi di belahan wilayah Nusantara. Menurut Prof. Johns dan Dr. Soebardi, sebagiamana yang dituliskan oleh Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya, pesantren dianggap sebagai “anak panah penyebaran Islam di Nusantara”.
Kaum Santri vis a vis Penjajahan
Kaum santri adalah salah satu kelompok sosial yang berpengaruh di Indonesia. Sebelum masa kemerdekaan, kaum santri seringkali terlibat dalam dinamika pergolakan sosial di Nusantara, terutama dalam menghadapi kesewenang-wenangan penjajah.
Pengaruh kaum santri yang awalnya cukup dominan di tengah masyarakat kosmopolitan lambat laun menjadi terpinggirkan. Kehadiran penjajah dari Eropa menjadi faktor pemicu marginalisasi kaum santri. Dengan hadirnya kolonialis dari Eropa, peran dan pengaruh santri menjadi kurang begitu kuat di lingkaran istana dan kawasan perkotaan karena secara perlahan mereka “dipukul mundur” ke kawasan pedesaan. Meski demikian, kaum santri yang dipimpin oleh para kiai tetap memiliki pengaruh yang besar di tengah masyarakat pedesaan.
Peran kiai di pedesaan tidak sebatas sebagai guru agama bagi masyarakat. Para kiai juga berperan sebagai advokat kaum yang lemah. Manakala terjadi penindasan terhadap wong cilik di pedesaan, para kiai hadir menjadi tempat bernaung bagi mereka serta wadah untuk mengadukan berbagai macam keluhannya.
Kaum santri yang terpinggirkan dalam kenyataannya cukup sukses dalam membangun basis-basis massa di tengah masyarakat desa. Para kiai dicitrakan oleh sebagian besar orang pedesaan sebagai elit yang penuh karisma, baik karena ilmu, kekayaan, maupun nasabnya. Oleh karena itu, para kiai selalu dapat memikat perhatian dan dukungan dari masyarakat di sekelilingnya.
Para kiai yang memiliki basis massa di tengah masyarakat terbukti cukup manjur dalam menggalang kekuatan untuk kepentingan kolektif. Berbagai perlawanan terhadap penjajah yang muncul pada abad ke-19, di antaranya dimobilisasi oleh kaum santri yang telah memiliki basis kekuatan di daerah pinggiran.
Sekaitannya dengan sikap Pemerintah Hindia Belanda dan para penguasa pribumi terhadap Islam dan kaum santri, Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit (1985) menyatakan bahwa:
“Di dalam kenyataannya, Islam selama berabad-abad yang lalu telah menjadi titik perhatian politik utama dari aristokrasi pribumi dan para penguasa penjajah Belanda, karena pemimpin Islam yang fanatik seringkali menjadi titik pusat keresahan dan pemberontakan melawan kekuasaan yang berlangsung di daerah pedesaan Indonesia.
Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu model perlawanan yang dimobilisasi oleh kaum santri. Meskipun, sebagian pihak menyatakan bahwa akar perang tersebut adalah kemelut antara sesama priyayi, yang dalam hal ini ialah Pangeran Diponegoro dengan sejumlah elit di keraton Kasultanan Yogyakarta. Namun, dalam praktiknya, peperangan tersebut tidak dapat dipisahkan dari andil para kiai yang telah menjadi mitra Diponegoro di kawasan pinggiran keraton Yogyakarta.
Perlawanan-perlawanan di daerah lainnya seperti Perang Paderi di Minangkabau, Pemberontakan Petani di Banten, dan Perlawanan Afdeling B di Garut menjadi fakta-fakta sejarah tak terelakkan bahwa sejak pra-kemerdekaan, kaum santri telah berada di garis terdepan dalam menghalau kesewenang-wenangan Pemerintahan Hindia Belanda beserta para priyayi yang menjadi kaki tangannya.
Perlawanan kaum santri terhadap penjajahan tidak hanya diberikan kepada Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi juga berlaku terhadap Pemerintah Militer Jepang. Kiai Zainal Mustafa beserta santri-santrinya dari Singaparna merupakan figur-figur heroik yang pada akhirnya harus merenggang nyawa oleh timah-timah panas yang dimuntahkan persenjataan modern milik militer Jepang. Di samping itu, Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari pun menjadi figur yang tampil paling depan dalam membela kehormatan Islam dan para santri manakala Pemerintahan Militer Jepang melakukan sidak ke Pondok Pesantren Tebuireng.
Menyulam Hikmah
Kiprah kaum santri sesungguhnya telah berakar di dalam sanubari bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Pengaruh kaum santri yang pada awalnya mendominasi daerah kosmpolitan kemudian menyusut hanya menjadi di daerah pedesaan sama sekali tidak mengurangi pengaruh dari kelompok sosial tersebut.
Di balik isolasi yang dilakukan oleh kaum penjajah terhadap kaum santri dalam kenyataannya tetap menjadikan kaum santri sebagai bayang-bayang yang menakutkan bagi mereka. Oleh karenanya, kaum penjajah terpaksa harus senantiasa terjaga karena rupanya hubungan antara mereka dengan kaum santri ibarat pepatah, “Mereka boleh saja menghancurkan bunga-bunga yang ada di kebun bunga, tetapi mereka tidak dapat mengahalangi datangnya musim semi yang kelak dapat memekarkan bunga-bunga perlawanan.”
Penulis berharap dalam momentum bersejarah ini, mudah-mudahan seluruh umat Islam di Indonesia terutama santri-santri dewasa ini agar tetap memelihara semangat dan sikap tak pantang diam yang telah ditorehkan oleh pahlwan-pahlawan santri di masa lampau. Bunga-bunga perlawanan yang pernah mekar pada abad-abad yang lampau harus terus bermekaran sampai riwayat alam semesta ini berakhir. Selamat Hari Santri Nasional!
Tinggalkan Komentar