Akhirnya mereka berhamburan keluar. Anak-anak laki-laki bersarung dan berpeci hitam lusuh-lusuh itu berlarian sehabis salat tarawih dan witir tertunaikan.
Namun bukan rumah yang dituju, melainkan pelataran halaman masjid luas yang selalu menjadi tempat terasyik bagi anak-anak itu memecah gembira.
Seperti gaya Gus Baha, peci-peci hitam sedikit di keataskan. Sarung-sarung salat berubah menjadi sarung-sarung bak Jawara Betawi yang terikat ketat memutari pinggang.
Satu sama lain salin mengejar, tertawa saling meledek seumuran tak membuat mereka mudah marah, jika pun ada perselisihan hanya berumur tiga menitan saja. Selekas itu mereka kembali menjadi squad-squad yang kompak.
Di bulan Ramadan tempat itu memang akan selalu lebih ramai dari biasanya. Untunglah Pak DKM dan semua pengurus (takmir) selalu ramah dengan anak-anak.
“Main-mainnya jangan terlalu malam ya, kan besok pagi harus makan sahur. Tidak ada yang berantem dan tetap jaga kebersihan masjid”. Nasehat Pak DKM disambut senyum riang dan anggukan anak-anak tanda mengerti dan menurut.
Mereka sadar kendati anak-anak itu hobinya ribut, tetapi itu lebih baik daripada salat hening tapi menggelayut dalam pikiran kita rasa khawatir akan masa depan dakwah Islam.
Di masjid-masjid tertentu memang adakalanya DKM superketat, masjidnya dipenuhi dengan aturan-aturan kaku yang membuat anak-anak tak nyaman menempati masjid-masjid sebagai tempat bersosial bagi segala golongan.
Dalam buku “Al-Wa’dul Haq” Umar Abdul Kafi menceritakan bahwa dirinya bertemu dengan seorang senja yang berusia enam puluh tahun. Ia penasaran, karena tak sedikitpun ada tanda-tanda bekas sujud pada diri laki-laki tersebut.
Dalam segan ia bertanya kepadanya, “Kapankah terakhir kali Anda menghadapkan diri kepada Allah ta’ala?”
Mendengar pertanyaan itu, rasa malu memuncaki perasaan laki-laki itu. Hingga tertunduk ia menjawab apa yang ditanyakan Umar kepadanya, “Sekitar lima puluh lima tahun yang lalu. Saat aku masih berusia lima tahun.”
“Aku menunaikan salat bersama teman-temanku. Namun saat itu ada seorang laki-laki dewasa yang mengusir kami karena kekanak-kanakan kami saat di masjid dengan bentakan “Pergilah kalian! Berdirilah disana (sambal menunjuk keluar). Salatlah di sana!’”
Sejak saat itu, aku enggan untuk kembali salat. Pungkasnya.
Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Kisah itu menggambarkan betapa pentingnya kita bersikap bijak dalam menyikapi keributan anak-anak kita saat di berada di Masjid. Tentu mereka harus dididik, diarahkan dan diberi bimbingan bagaimana beribadah yang benar.
Namun kita juga harus sadar bahwa anak-anak tetaplah anak-anak. Perlu waktu dan berbagai pendekatan untuk mengubah mereka terus menjadi lebih baik.
Semoga tidak ada lagi pengusiran-pengusiran terhadap anak-anak oleh para takmir masjid. Biarkan mereka menemukan betah di Rumah Allah.
Ingatlah ketika Hadits Riwayat Ibnu Khuzimah menceritakan bahwa “Kalau Rasulullah salat dan apabila beliau sujud, Hasan serta Husein bermain menaiki belakang Rasulullah. Lantas, jika ada beberapa teman dekat Rasulullah yang hendak melarang Hasan dan Husein, Rasulullah memberikan isyarat untuk membiarkannya. Jika sesudah selesai salat, Rasulullah kemudian memangku kedua cucunya tersebut.”
Di Bulan Ramadan ini bulan yang penuh dengan kegembiraan. Mari kita gandeng tangan anak-anak kita ke rumah Allah. Agar tumbuh rasa cinta dalam hati mereka pada agama kita yang mulia. Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sumedang, 2 Ramadan 1443 H
Tinggalkan Komentar