Info Terkini
Jumat, 26 Jul 2024
  • Website berisi tulisan-tulisan Agus S. Saefullah beserta para penulis lainnya
26 Juli 2022

Memoar Perjalananku di Thailand (14)

Selasa, 26 Juli 2022 Kategori : Founder Way / Naufal A.

Tak terasa rupanya waktu bergulir begitu cepat. Hari demi hari selalu saya usahakan untuk dilewati dengan sepenuh hati. Kalau pun seandainya saya melewati hari demi hari di sini dengan separuh hati, terbayang dalam pikiran betapa akan rumitnya hubungan saya dengan keluarga dan kawan-kawan yang berada di negeri besar nun jauh di sana.

Tekad saya untuk tetap betah dan tegar di negeri orang ini mendapatkan penguatan setelah tiga hari yang lalu membaca kisah Zainuddin, si pemuda yang malang, dalam roman populer karangan Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Ucapan Zainuddin yang tengah memohon kepada Mak Base supaya direstui hijrah dari Makassar menuju kampung halaman ayah tercinta di Minangkabau bagi saya sarat akan makna sifat seorang lelaki sejati. Beginilah perkataan Zainuddin kepada Mak Base itu:

“Anak laki-laki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada haluan pulang.”, (Hamka, 2017: 20).

Begitulah sedikit ungkapan rasa yang ingin saya bagikan kepada pembaca sekalian dalam uraian ini. Ada pun, yang ingin saya uraikan dalam tulisan ini sebenarnya adalah pembahasan yang pernah disampaikan pada catatan harian sebelumnya. Namun, berhubung pesan-pesan Whatsapp yang masuk kepada saya seringkali berisi pertanyaan soal aktivitas KBM dan fasilitas di sekolah ini. Maka, saya akan bentangkan segala rupa hal tentang Jazirahpithayanusorn School, tempat saya melaksanakan tugas sebagai peserta KKN dan PPL Internasional.

Terlebih dahulu penting untuk dipahami bahwa tidak ada kepentingan lain yang memotivasi saya dalam menjelaskan tentang hal ini. Saya hanya ingin memaparkan soal kondisi aktual apa adanya tentang Jazirahpithayanusorn School kepada pembaca sekalian.

Sekaitannya dengan aktivitas belajar dan mengajar, sejak pekan pertama saya diamanahi oleh guru di sini untuk mengajar di dua jenjang yaitu Prathom dan Mattayom. Prathom ini sederajat dengan sekolah dasar di Indonesia. Sedangkan, Mattayom ini sederajat dengan sekolah menengah.

Sekilas tampak situasi aktual mengajar di kelas. (Sumber gambar: Dokumen pribadi)

Seiring dengan pembagian tugas itulah saya juga diminta oleh guru di Jazirahpithayanusorn School untuk mengajar sebuah mata pelajaran yang berlainan sekali dengan latar belakang jurusan yang saya ambil. Saya diminta oleh guru di sekolah ini untuk mengajar mapel bahasa Inggris. Yang semula saya terbiasa dengan bahan ajar sejarah yang bersifat naratif-analisis, kini saya harus berjibaku dengan bahan ajar yang menyangkut dengan struktur kebahasaan. Walau sebenarnya merasa kurang cocok, saya berusaha untuk menjalankan permintaan tersebut secara profesional.

Soal bahasa pengantar yang biasa saya gunakan selama KBM di sekolah ini, perlu diakui bahwa saya mengajar murid menggunakan bahasa Inggris. Dari sini barangkali timbul pertanyaan lantas kenapa tidak menggunakan bahasa Melayu? Bukannya di Krabi yang lumayan banyak orang Melayu ya? Perlu diketahui juga bahwa meski etnis Melayu cukup dominan di sini namun bukan berarti mereka mengadopsi kebudayaan Melayu secara utuh. Nyaris seluruh murid di sini tidak mengerti bahasa Melayu. Sehingga, dengan terpaksa saya harus berbicara menggunakan bahasa Inggris. Kendati kurang fasih, saya percaya bahwa semakin bahasa itu sering kita ungkapkan dalam pergaulan sehari-hari, maka kemampuan berbahasa ini akan semakin meningkat.

Berbicara soal fasilitas, barangkali pembaca sekalian beberapa hari yang lalu sempat melihat kondisi aktual fasilitas sekolah di sini melalui Snap Whatsaapp saya. Dalam hal ini perlu saya tekankan bahwa jangan anggap sekolah di sini mempunyai fasilitas yang mewah seperti bayangan pembaca ketika menyaksikan film-film Thailand. Di sekolah lokasi saya bertugas ini atau barangkali sekolah kawan-kawan seperjuangan saya yang lain, rata-rata fasilitas sekolahnya relatif biasa saja. Tidak ada yang terlampau istimewa. 

Karena tidak ada proyektor, murid-murid terpaksa harus melihat video dari laptop. (Sumber gambar: Dokumen pribadi

Di sekolah saya ini, kursi-kursi belajar murid sebatas kursi berbahan dasar plastik yang relatif mudah patah. Susunan dari tataletak belajar murid di kelas juga tidak serapi seperti di Indonesia. Murid-murid di sekolah ini bisa seenaknya ambil posisi ter-wenak mereka selama belajar di kelas. Di samping itu, alat penunjang pokok pembelajaran seperti proyektor yang biasanya terdapat di sekolah-sekolah Indonesia, tidak dapat saya jumpai di sini. Oleh karena itu, pada masa awal KBM, saya sempat dibuat kerepotan untuk menampilkan materi di PPT atau video pembelajaran. Tetapi, karena dituntut untuk mengajar tanpa proyektor, akhirnya saya mampu juga untuk mengajar mereka.

Ihwal kultur pendidikan di sekolah ini, saya rasa cukup berbeda dengan pengalaman saya selama di Indonesia. Beberapa tindakan yang menurut perspektif orang-orang Indonesia kurang elok untuk dilakukan di lembaga pendidikan seperti menjewer telinga murid, memarah-marahi murid di muka umum, dan memukul murid yang bandel, tak jarang juga saya jumpai di sini. Bahkan, tindakan semacam itu sudah saya saksikan sedari awal bertugas di sekolah ini sekitar dua pekan yang lalu.

Mengenai rutinitas mengajar, seperti yang pernah disampaikan dalam catatan sebelumnya, sekolah ini berlangsung dari Senin sampai Jumat dalam sepekan. Saya sendiri dan Rangga mendapat tugas untuk mengajar dari awal pekan sampai hari Jumat. Dalam kurun setiap hari, total durasi KBM yang saya jalankan kira-kira selama 110 menit. Untuk jenjang Mattayom dimulai pada pukul 11.40 sampai 12.30 siang. Sementara, untuk jenjang Prathom dimulai pada pukul 13.30 sampai kira-kira pukul 14.30 siang.

Sebagai penutup, saya akan mengangkat sebuah pertanyaan yang barangkali akan sering diajukan oleh mahasiswa dari FKIP. Apakah mengajar di sekolah-sekolah Thailand membutuhkan RPP dan atau perangkat administrasi lainnya seperti di Indonesia? Saya jawab dengan tegas, TIDAK! Tetapi bukan masalah kalau pembaca hendak menyiapkannya, hanya saja perangkat administrasi semacam itu alangkah baiknya menjadi “bahan konsumsi” pembaca secara pribadi saja.

Guru-guru di sini rata-rata tidak akan menanyakan hal tersebit kepada peserta KKN dan PPL dari Indonesia. Mereka hanya ingin supaya saya dan kawan-kawan saya yang lainnya menjalankan tugas sebagai guru untuk para murid dengan sebaik-baiknya. Titik!

Demikianlah, semoga uraian ini dapat membantu memberikan jawaban yang konkret atas pertanyaan-pertanyaan pembaca sekalian. Aamiin.

Bumi Allah, Krabi, Rabu 20 Juli 2022

Tulisan Lainnya

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar

 

BUKU-BUKU

TULISAN AGUS S. SAEFULLAH
DAN KAWAN-KAWAN

Diterbitkan :
Hafidz Qur’an 4,5 tahun
“Tabarak seorang anak yang lahir pada tanggal 22 Februari 2003 dinyatakan lulus oleh penguji dari..
Diterbitkan :
Ulama Gila Baca
“Imam Nawawi dalam sehari mampu membaca 12 buku pelajaran di hadapan guru-gurunya” Kesaksian Abu Hasan..

Agenda Terdekat

Trik menjadi seorang penulis adalah menulis, lalu menulis dan terus menulis.

Galeri Pelatihan

Ahlan wa Sahlan

0 0 4 8 0 7
Total views : 10780
Salam Silaturahmi