Hari Jumat kali ini adalah kesempatan kedua saya dapat menunaikan ibadah Jumat di Thailand. Hari ini saya melaksanakan ibadah Jumat di masjid kampung Pulau Tengoh yang biasa menjadi lokasi saya setiap kali salat berjamaah. Seperti pada pekan sebelumnya, saya tidak mampu memahami isi khutbah yang disampaikan oleh khatib Jumat. Meskipun begitu, saya berusaha tetap khidmat. Tidak berbicara sedikit pun selama khutbah Jumat untuk meraih ganjaran yang maksimal.
Kebetulan yang bertindak sebagai khatib Jumat pekan ini ialah Babo Damrong. Saya merasa akan sangat tertarik mendengarkan khutbah Babo tadi siang seandainya saya bisa memahami bahasa Thai. Pasalnya, Babo menyampaikan isi khutbah dengan intonasi yang jelas, tidak tergesa-gesa, dan mampu melafalkan bahasa Arab dengan baik. Tetapi, sayang seribu sayang, saya tidak mengerti bahasa Thai.
Rangkaian ibadah Jumat selesai kira-kira pada pukul 13.30-an. Seiring itu, saya bergegas pulang ke sekolah karena sejak pagi diberitahu Babo bahwa kita akan pergi menginap di Satun yang rupanya adalah kampung halaman Umi, istri Babo Damrong. Seusai makan siang, saya langsung menumpangi tuktuk bersama Babo dan Umi untuk pergi ke luar dari Pulau Tengoh. Setelah menyeberang menggunakan perahu, kami bertiga lekas mengendarai mobil Camry kesayangan Babo untuk melanjutkan perjalanan.
Perjalanan dari Krabi menuju Satun menghabiskan waktu kira-kira selama 4 jam. Selama di perjalanan, saya tidak terlalu banyak memerhatikan pelbagai hal yang terlihat. Saya memilih mendengarkan musik dari ponsel dengan mengenakan headset dan sesekali mencuri waktu untuk tidur.
Kami sampai di tujuan, kediaman orang tua Umi kira-kira pada pukul 18.50-an. Di rumah mertua Babo inilah saya menunaikan salat Magrib berjamaah bersama dengan ayah Umi juga Babo Damrong. Ada sedikit pengalaman menarik, sebelum salat berjamaah dimulai awalnya saya mengambil posisi di tempat makmum. Ketika Babo keluar dari tempat wudhu saya tiba-tiba diminta menjadi imam salat. Saya yang ditunjuk Babo otomatis mengalihkan tawaran imam itu kepada ayah Umi dengan pertimbangan bahwa hanya beliaulah yang usianya lebih tua dibandingkan saya dan Babo. Tetapi, beliau pun tidak bersedia. Dengan agak malu saya pun segera maju ke depan, menjadi imam untuk orang-orang tua yang berada di belakang saya.
Salam yang menandai akhir daripada salat kami disambung dengan zikir sekaligus obrolan hangat yang membuat hati saya tergugah. Ayah Umi dengan menggunakan bahasa Melayu yang kurang fasih bilang bahwa umat Muslim di Indonesia sangat banyak. Kedengarannya beliau sedikit bercerita tentang pengalamannya selama menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Namun, saya tidak memahami keseluruhan isi pembicaraan ayah Umi.
Di sela-sela pembicaraan saya dengan orang yang usianya terpaut jauh sekali itu, Babo mengatakan bahwa penduduk 90% penduduk di Satun beragama Islam. Kemudian, beliau mengatakan bahwa ajaran Islam yang kini tersebar di Thailand sesungguhnya berasal dibawa oleh orang-orang Muslim dari Indonesia.
“Mula-mula agama Islam di Thailand ini asalnya dari Indonesia. Kemudian tiba ke Malaysia, lalu ke Pattani di Thailand. Nah, mereka ini tinggal di sekitar pantai-pantai”, ujar Babo.
Meskipun isi pembicaraan Babo itu perlu dikonfirmasi melalui penjelasan literatur-literatur historiografi yang kredibel. Akan tetapi, hal demikian setidaknya menunjukkan adanya satu pengetahuan umum yang tertanam di alam pikiran orang Muslim Thailand. Dari situ, saya diperlihatkan bahwa rupanya orang Muslim di Thailand mengakui kedudukan Indonesia sebagai pusat dakwah Islam di Asia Tenggara.
Hal yang menarik lainnya saya dengar selama obrolan sebakda salat Magrib tadi. Babo sedikit menyinggung soal kehadiran orang-orang Muslim keturunan Indonesia di Thailand. Dalam obrolan itu, beliau menyebut sebuah nama yang tidak begitu kedengaran dengan jelas. Namun, yang bisa saya tangkap Babo menyebut satu nama orang berakhiran “Dahlan”.
Saya yang mendengarnya, seketika jadi ingat dengan sebuah kabar yang menyatakan bahwa terdapat anak-cucu K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama besar pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yang turut berdakwah di negeri Gajah Putih ini. Saya lupa lagi sumber dari informasi ini, entah saya pernah membacanya atau mendengarnya dari orang lain. Namun, yang jelas memori saya sedikit mengingat tentang kabar ini.
Sebagai cucu dari aktivis Muhammadiyah Sumedang dan mahasiswa Pendidikan Sejarah yang menaruh minat terhadap sejarah perkembangan Islam, saya langsung merespon obrolan bersama Babo dan ayah Umi itu. Saya bilang bahwa anak-cucu K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah memang sepengetahuan saya pernah ikut berdakwah di Thailand. Lantas Babo pun mengiyakan pernyataan saya.
“Nah betul, Ahmad Dahlan, Muhammadiyah!”, kata Babo dengan nada bicara seperti orang yang baru mendapatkan solusi dari permasalahan.
Babo sempat berbicara mengenai nama anak-cucu K.H. Ahmad Dahlan menggunakan bahasa Melayu khas Thailand. Namun, sayangnya, saya tidak bisa mencerna obrolan Babo dengan jelas. Yang bisa saya tangkap ialah Babo sempat menyebut nama Prof. Winai Dahlan yang tidak salah dikatakannya menjadi orang Muslim berpengaruh di lingkungan Kerajaan Thailand.
“Prof Winai Dahlan bersahabat dengan Raja Chulalongkorn”, kalau saya tidak salah dengar ucapan Babo tadi.
Hati saya bahagia bukan main, rupanya saya mendapatkan kabar dari orang Thailand sendiri yang mengakui peran umat Muslim dari negara tercinta, Indonesia. Terutama sekali pengakuan atas peran dari anak-cucu tokoh besar Islam di Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan, Sang Pencerah, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah yang berdakwah di bumi Thailand ini.
Berhubung jika saya lanjutkan uraian ini sepertinya akan semakin panjang. Maka, saya akan akhiri catatan hari ini dengan harapan; semoga bermanfaat. Aamiin.
Bumi Allah, Satun, Jumat 15 Juli 2022.
Tinggalkan Komentar