Terhitung sudah tiga hari saya berada di ruang kamar sekolah ini sendirian. Sejak hari Selasa sore, Rangga pergi menginap di asrama guru Uthayansuksa Krabi School bersama dengan Andi, kawan yang sekaligus menjadi senior satu kampusnya di UMMU. Sementara itu, saya memilih untuk tetap tinggal di sekolah ini sendirian. Kendati demikian, untungnya, Babo Damrong bersama dengan istrinya menginap di sekolah sampai hari ini sehingga saya tidak begitu merasa kesepian.
Sebenarnya saya bukan tidak mau pergi ke luar untuk bersua bersama dengan kawan-kawan dari UNSIL. Saya sudah berkali-kali melobi Wisnu supaya sudi menjemput saya. Akan tetapi, dia bilang jarak domisilinya menuju pulau tempat saya tinggal ini sangatlah jauh.
Ada pun, masalah terbesarnya bagi saya dalam hal ini adalah saya merasa nanggung jika seandainya kemana-mana harus diantar jemput oleh Babo atau orang lain. Saya ingin bebas berkeliaran jalan-jalan menuju tempat yang hendak saya tuju. Walaupun, saya sendiri sadar betul kalau tindakan seperti itu mengandung resiko kecelakaan yang tinggi. Dan pada kenyataannya itulah yang dikhawatirkan Babo, jika seandainya saya nekat berpergian sendiri menggunakan sepeda motor.
Omong-omong soal rutinitas saya selama di Thailand. Sebenarnya sama halnya seperti yang biasa saya lakukan ketika sedang indekos di Tasikmalaya. Setiap pagi saya membersihkan tempat tidur, kadangkala kalau cuaca sedang cerah saya mencuci pakaian, menikmati makanan, scroll media sosial, ikut kegiatan rapat online, dan yang pasti meluangkan waktu untuk membaca buku yang saya bawa dari kosan.
Suasana sepi yang ditimbulkan oleh keheningan di sini pada dasarnya masih bisa diatasi oleh keberadaan ponsel yang bisa saya gunakan untuk chatting-an, mendengarkan musik dan menerima pelbagai macam informasi sepanjang waktu. Namun, aktivitas seperti itu musykil bisa saya lakukan karena sebagai manusia, saya juga kerap kali dihinggapi perasaan bosan.
Semakin ke sini, saya justru merasa ucapan Mohammad Hatta yang sudah diungkapkan di muka cukup sesuai dengan perasaan saya. Ketika pikiran saya mulai dikelilingi jeruji kepenatan karena jenuh berinteraksi dengan Whatsapp, Instagram, dan Youtube, buku-buku yang saya bawa dari rak perpustakaan pribadi selalu hadir untuk me-refresh dan menghancurkan belenggu kejenuhan yang mengitari pikiran saya. Memang atas dasar kepentingan itulah buku-buku itu ikut terbang bersama pemiliknya ke Thailand.
Terdapat tiga buah buku yang saya bawa terbang dari Indonesia menuju Thailand. Sebagai mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah, semua buku yang saya bawa bertemakan sejarah, lebih spesifiknya; sejarah politik. Ketiga buku yang saya bawa ke sini yaitu berjudul; (1) Tidak Ada Negara Islam yang berisi dokumen surat menyurat antara Cak Nur dengan Pak Roem tentang negara Islam yang ideal, (2) Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967 buah tangan Greg Fealy, dan (3) Pemilihan Umum 1955 di Indonesia tulisan Herbert Feith.
Saya sudah membaca sebagian dari isi buku-buku ini sejak di Indonesia. Buku yang terlebih dahulu saya baca ialah karangan Greg Fealy berjudul Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Saya merasa penting untuk menyerap isi buku Greg Fealy ini karena rencananya akan saya gunakan sebagai referensi untuk menulis skripsi pada semester yang akan datang. Sampai detik ini, penelaahan saya terhadap buku sejarah organisasi Islam terbesar di Indonesia ini belum kunjung selesai karena isinya cukup tebal, sebanyak 415 halaman.
Buku lain yang saya bawa dan kebetulan berhasil ditamatkan di Thailand adalah sebuah buku yang berisi korespondensi antara Cak Nur, seorang cendekiawan Islam terkemuka dan eks-Ketua HMI dengan Pak Roem, seorang diplomat-pejuang yang namanya masyhur dikenal dalam sebuah babak perundingan Republik Indonesia dengan Belanda yakni Perjanjian Roem-Roijen.
“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” – M. Hatta
Buku yang dimaksud berjudul Tidak Ada Negara Islam yang dicetak ulang dengan revisi pada 2004 silam. Saya sudah cukup lama membaca isi buku ini di Indonesia. Hanya saja, merasa greget kalau proses pembacaan buku ini dibengkalaikan sebab saya sudah menamatkan setengah dari keseluruhan isi buku ini, bahkan lebih. Untuk itu, saya baca lagi selama di Thailand dan akhirnya saya bisa menamatkan buku legendaris ini pada hari Jumat dua pekan yang lalu, tepatnya ketika sedang menanti ketibaan kawan-kawan dari UMMU dan UPS Tegal di Krabi International Airport.
Di saat buku Gref Fealy belum tuntas saya baca, sebuah buku berjudul Pemilihan Umum 1955 di Indonesia tulisan Herbert Feith masih menanti untuk disapa. Buku ini sebetulnya hasil pinjaman dari perpustakaan Batu Api Jatinangor sejak pertengahan Juni yang lalu. Isinya tidak terlalu tebal sehingga saya rasa cocok untuk dibaca sebagai “bacaan intermezzo” seandainya saya mulai jenuh dengan buku yang menjadi bacaan utama. Sebagian kecil dari buku ini juga sudah saya baca ketika di Indonesia. Mudah-mudahan Allah Swt. memberi saya gairah untuk membaca lagi buku karya seorang Indonesianis asal Australia ini.
Demikianlah curahan hati saya lewat uraian ini. Semoga bermanfaat. Aamiin.
Bumi Allah, Krabi, Kamis 14 Juli 2022.
Tinggalkan Komentar