Alhamdulillah was syukru lillah lebaran 2022 ini bisa mudik. Setelah dua kali lebaran tidak mudik lantaran pembatasan mobilitas masyarakat di saat pandemi.
Peniadaan pembatasan untuk mudik kali ini, atau tepatnya pelonggaran , karena masih ada beberapa pembatasan bagi pengguna transportasi umum, bak turunnya hujan pertama kali setelah kemarau panjang. Kerinduan yang telah mengujung menjadikan mudik kali ini terasa spesial.
Meski demikian, situasi ekonomi yang kurang baik dan beberapa faktor lain menjadi rem bagi tumpah ruahnya masyarakat hilir mudik di jalan seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Di beberapa daerah, suasana jalan tidak begitu ‘minggaila’ bahkan ada yang sepi-sepi saja.
Bisa jadi ada sebagian masyarakat yang telah memiliki kebiasaan baru, bukan kenormalan baru ya, karena dua kali lebaran mereka sudah dibiasakan mengendalikan euforia lebaran. Atau ada yang suasana batinnya tidak mendukung untuk mudik dan merayakan lebaran dengan mengunjungi tempat-tempat wisata, karena masih dibayang-bayangi ketakutan akan penyebaran kembali virus covid. Apalagi sebelumnya pemerintah dan banyak pakar mengingatkan bahaya lonjakan penyebaran covid pasca lebaran.
Kemungkinan lain sebagian masyarakat menghadapi tekanan ekonomi di tengah situasi ekonomi nasional dan global yang kurang baik saat ini. Lonjakan harga berbagai kebutuhan pokok memaksa sebagian masyarakat berhemat dan memutar otak untuk menjamin keberlansungan roda ekonomi rumah tangga. Belum lagi sebagian akan menghadapi masa pendaftaran sekolah, yang kita tahu di negeri ini, masih membutuhkan biaya yang mahal.
Perjalanan mudik saya dan keluarga dari Jawa Tengah ke Jawa Timur alhamdulillah lancar. Ucapan syukur kepada Allah dan terima kasih kepada semua rezim pemerintahan harus saya dedikasikan. Saya tidak bisa hanya berterima kasih kepada rezim tertentu, kerena kebetulan saya tidak bisa memilih hanya melewati atau menikmati infrastruktur yang di bangun oleh rezim tertentu.
Bahkan saya juga berterima kasih kepada segenap rakyat yang telah membayar pajak, termasuk mereka yang terpaksa jauh dari keluarga untuk menjadi pekerja migran di mancanegara dan menghasilkan tambahan devisa untuk negara.
Menurut pandangan awam saya, untuk menjadi negara besar yang adil dan beradab harus dimulai dari pikiran yang adil dan beradab. Di antaranya mengakui kontribusi segenap bangsa dalam pembangunan dan merangkul segenap bangsa untuk sama-sama membangun. Klaim-klaim partisan atas pembangunan harus dihilangkan. Biarlah prestasi pemimpin nenjadi catatan mengharumkan saat purna tugas atau portofolio yang nyata (baca: bukan pencitraan) saat kembali bersaing dalam kontestasi politik. Jangan dijadikan propaganda untuk memecah belah bangsa.
Tapi ini mungkin akan terwujud dalam kontestasi politik yang fair. Role of the game nya mendukung dan wasitnya juga fair dan kredible.
Saya sendiri memimpikan hiruk pikuk kontestasi politik hanya berlangsung satu tahun saja dari lima tahun durasi pergantian rezim. Selebihnya dipenuhi hiruk pikuk gotong royong memajukan bangsa. Yang tugasnya menjalankan pemerintahan memiliki ruang yang nyaman untuk melaksanakan amanah. Lembaga-lembaga yang bertugas mengawasi pemerintahan percaya diri melakukan kepengawasannya. Jangan malah menjadi “tim hore” dan lupa fungsi. Sebab jika fungsi diambil alih oleh ” pengawas ekstra parlementer” akan lebih banyak gaduhnya.
Biarlah rakyat lebih fokus pada bidang kerjaan masing-masing. Perbincangan politik di antara mereka hanya menjadi obrolan yang meghibur tanpa caci maki apa lagi acam mengancam. Jika ada obrolan saling mengunggulkan dukungannya, itu pun dilakukan sambil ketawa-ketiwi bahagia dan saling menghormati. Mereka tidak harus ikut “bertarung” mati-matian, karena mereka sudah mempercayakan aspirasinya kepada pemimpin dan wakil rakyat yang telah mereka pilih.
Meskipun ini mimpi, tapi kayaknya bisa jadi kenyataan asalkan para pemain di panggung politik ( baca: partai) dan wasit (baca: pengadil dan penegak hukum) mau barmain cantik dan fair untuk kepentingan bangsa. Sebab kalau tidak, para supporter akan beradu jotos di luar lapangan.
Saya melakukan perjalanan mudik melalui jalan tol. Keberadaan jalan tol sangat bermanfaat bagi sebagian masyarakat terutama kelas menengah ke atas. Karena meskipun relatif mahal, tapi bagi mereka waktu sangatlah berharga. Sehingga rupiah yang mereka keluarkan menjadi impas dengan percepatan waktu perjalanan yang diporoleh.
Lain ceritanya dengan kelas bawah yang merupakan mayoritas masyarakat kita. Mereka tidak menikmati jalan tol. Saat awal-awal keberadaan jalan tol, orang kampung sangat antausias mendengarkan cerita perjalanan via jalan tol. Sekarang sudah tidak lagi. Paling-paling yang ditanya hanya berapa duit yang dihabiskan untuk bayar tol. Mereka pun mendengarkan jawabannya dengan pandangan mata yang mengawang. Karena hal itu tidak nyambung dengan alam pikiran mereka yang tidak pernah merasakan perjalanan melewati jalan tol.
Oleh karena itu pemerintah ke depannya baik pusat maupun daerah ada baiknya memperbaiki kualitas jalan umum tak berbayar yang sudah banyak yang rusak. Juga menyediakan transportasi publik yang nyaman dan murah.
Sejatinya upaya itu sudah ada, seperti di moda trasportasi kereta api yang sekarang sangat nyaman. Juga di beberapa daerah seperti Jakarta sudah menuju sistem transportasi publik yang terintegrasi. Namun hal itu perlu dimassifkan agar bisa dinikmati oleh sebagian besar anak bangsa. Bisakah terwujud? Kalau berkaca pada janji setiap tokoh politik yang selalu membawa optimisme dalam setiap kampanye, bangsa ini bisa berharap banyak.
Ini sekedar catatan seorang pemudik, bukan hasil kajian dan penelitian. Bisa jadi sesuai fakta yang sebenarnya, dan bisa jadi pula hanya generalisasi yang tidak akurat. Salam ketupat, harap maklum bila tidak akurat. Mohon maaf lahir batin.
Tinggalkan Komentar