“Ini nak! Kue lebarannya dimakan. Itu tidak bisa tumbuh lho kalau ditanam. Kamu tidak boleh pulang sebelum mencicipi kue lebaran kakek.” Sang Kakek menawarkan sambil mengangkat tempat kue didekat ke arahku.
“Nggih, kek. Nanti saya mengambil sendiri.” Seraya aku mengangkat tangan tanda menolak halus.
“Tidak boleh! Kamu harus makan kue lebaran ini.” Kakek setengah memaksa. Malah seluruhnya mungkin.
Dengan sedikit segan, aku mengambil dan memakan kue yang disodorkan kakek. Kue buatan rumah yang tidak ditemukan di toko ataupun warung penjual kue lebaran.
“Nenekmu sudah membuatnya semalaman tanpa tidur. Ini hanya untuk menunggu cucunya yang akan datang lebaran ini.”
Tradisi mengunjungi sanak keluarga, handai tolan sudah berlangsung sejak dahulu. Sebuah kebiasaan baik dalam setiap Idul Fitri yang masih lestari. Bahkan banyak orang rela berdesakan, mengantri tiker kendaraan untuk mudik pulang kampung, tiada lain ingin bersilaturahmi dalam suasana lebaran.
“Kamu tidak boleh pulang sebelum makan kue lebaran buatan nenekmu. Mereka akan menjadi saksi pertemuan, saling bermaafan kta nanti di hari pembalasan.” Kakek bertutur menasehati cucu-cucunya yang bergantian mengunjunginya. Tidak jarang kakek memaksakan diri menyisihkan angpao untuk sekadar dibagikan pada cucu-cucu yang masih belia.
“Memang bisa kek, benda-benda mati seperti kue lebaran menjadi saksi kita nanti di hari pembalasan?”Tanyaku begayaan.(bercanda dalam Bahasa Banjar)
“Ya bisalah!”Kakek membalas bersemangat.
“Kamu tahu, bahwa kita semua asalnya mati. Kemudian dihidupkan, lalu dimatikan lagi. Itu perkara mudah bagi Dia. Kita mengatakan tidak mungkin hanya karena atas perintah akal kita saja. Dia kan Maha Pengatur segalanya.”Kakek semakin bersemangat.
Ahh! Suasana lebaran yang mungkin saja jarang ditemukan zaman sekarang. Para sesepuh memberikan nasehat pada anak cucu yang beranjangsana. Saat ini semua serba tergesa-gesa dan ingin cepat selesai. Bahkan dongeng-dongeng zaman dahulu sering diceritakan kembali. Nostalgia yang indah saat lebaran.
“Kue-kue lebaran ini dibuat oleh tangan nenek kalian sendiri. Kedua tangan yang senantiasa berbalut doa. Bahkan sejak kalian belum lahir. Nenek tiada pernah lepas mendoakan orangtua kalian. Lantas bagaimana mungkin Dia tidak reda. Doa orangtua yang terus mengalir tiada henti. Kalau lah tidak mungkin secara akal, tapi hati kakek yakin, apasaja yang dibuat dengan ketulusan hasilnya akan menjadi saksi kebaikan bagi yang menyentuhnya.”
Kakek masih tetap bersemangat. Ia seperti tiada memiliki rasa lelah. Para orangtua yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Keriput-keriput kulit yang sangat jelas tampak, rambut memutih hampir seluruh kepala menandakan zaman menggilasnya tanpa terasa.
“Ya, kek. Saya mengambil dua inj kuenya. Tolong didoakan ya cucu-cucunya menjadi anak-anak saleh.dan salehah.”Adikku di sebelah menyela tanpa permisi.
“Pasti itu! Tanpa kamu minta doa kami untuk kalian tiada henti. Orangtua kalian juga. Sekarang makan lagi kuenya. Biar maafnya deras mengalir, he-he!”
Singam Raya, Katingan, Kalteng. 04/05/2022. Lebaran ke-3. Rindu kakek-nenek( Allahumma ighfir lahum waarhamhum waafihiim waa’fu anhum.
Tinggalkan Komentar