Haji Agus Salim (1884-1954) sempat menjadi sorotan publik akhir-akhir ini setelah beredar video dari kanal TikTok yang memperlihatkan dirinya bersama dengan Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro, dan Charles Tambu sedang berada di Sidang Dewan Keamanan PBB. Dalam unggahan itu, Agus Salim menjadi sosok yang paling tua dan nyentrik. Ia mengenakan jas, peci, kacamata, sekaligus jenggot di dagunya yang khas.
Reputasi Haji Agus Salim sudah tersiar ketika ia berusia belia. Saat masih duduk di bangku sekolah Agus Salim pernah menjadi pelajar terbaik di seluruh HBS, sekolah bergengsi bagi orang Eropa di Hindia Belanda. Atas prestasinya yang luar biasa itu, ia dikagumi R.A. Kartini sampai-sampai beasiswanya rela dialihkan pada Agus Salim.
Agus Salim juga sempat bekerja di Jeddah, Hijaz sebagai konsul Pemerintahan Hindia Belanda selama lima tahun. Oleh karena itulah, Agus Salim barang tentu tidak begitu asing bagi orang-orang di dalam maupun luar negeri.
Haji Agus Salim menjadi sosok yang lebih terkenal dan dicintai rakyat bumiputera manakala ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) pada 1915. Pada awalnya, ia ditugaskan polisi Hindia Belanda untuk memata-matai pergerakan SI akan tetapi perjumpaannya dengan Tjokroaminoto sedikit demi sedikit memperteguh keyakinannya untuk berpihak pada SI. Setelah diajak mengikuti pelbagai vergadering oleh Tjokroaminoto, Agus Salim bersedia membantu gerakan SI.
Konflik Agus Salim dengan Golongan Komunis di Tubuh SI
Pria kelahiran Koto Gadang, Minangkabau ini tidak membutuhkan waktu lama untuk meniti jalan menuju ranah kepemimpinan SI. Suradi dalam Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam (1997) menerangkan, Agus Salim secara signifikan mulai berperan ketika krisis sedang menimpa SI seiring dengan ditangkapnya Tjokroaminoto. Bersama koleganya, Abdul Moeis, ia memerhatikan gerak gerik Semaun dan SI cabang Semarang yang sudah dipengaruhi oleh Sneevliet, seorang tokoh komunis pendiri ISDV (Indische Social-Democratische Vereniging).
Kelompok SI ini kerap menggoyahkan kedudukan pimpinan SI yang saat itu bersikap kooperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda dan duduk di Volksraad, sebuah lembaga perwakilan rakyat jajahan. Awalnya, pimpinan SI yang duduk di sana ialah Tjokroaminoto dan Abdul Moeis, kemudian Agus Salim turut duduk di Volksraad pada periode kedua 1921-1923.
Atas dasar itulah, Agus Salim menginisiasi gerakan untuk mempertebal identitas perjuangan SI. Sebagai orang yang sudah tercerahkan oleh Islam, ia menegaskan bahwa SI adalah organisasi yang bertumpu pada ajaran Islam. Upaya Semaun untuk menanamkan benih-benih komunisme di tubuh SI dihadang oleh Agus Salim bersama Abdul Moeis melalui kebijakan disiplin partai yang terkenal itu. Akibatnya, Semaun beserta pendukung ide komunisme didepak dari SI.
Kesediaan Agus Salim duduk di Volksraad tidak begitu lama. Agus Salim mengemukakan alasan kepada pimpinan Volksraad bahwa selama ini belum ditemukan maksud yang baik dari Pemerintah Hindia Belanda untuk melepaskan tuduhan buruk terhadap pimpinan SI, Tjokroaminoto.
Agus Salim juga ingin Tjokroaminoto lekas diangkat sebagai perwakilan SI di Volksraad. Akan tetapi, Pemerintah Hindia Belanda tidak kunjung mengabulkannya. Oleh karena itulah, Agus Salim mengubah sikapnya terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang semula menganut sikap kooperatif menjadi non-kooperatif.
Sikap non-kooperatif itu lantas menjadi sikap SI yang sudah berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Non-kooperatif menjadi sikap resmi PSI setelah diselenggarakan Kongres CSI di Surabaya pada 1924 yang kemudian hari sikap ini masyhur dikenal dengan sikap hidjrah.
Kemelut Agus Salim dengan Pimpinan Sarekat Islam
Memasuki 1930-an, SI yang menjadi PSI sudah berganti nama lagi menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Perkembangan partai ini dari ke hari semakin tidak menunjukkan progresifitas. Misalnya, tampak dari pola kaderisasi pimpinan partai yang tidak berjalan dengan lancar. Pimpinan PSII sangat bergantung pada kebesaran figur dwi tunggal Tjokroaminoto dan Agus Salim. Sementara itu, budaya saling menyingkirkan sudah merasuk, mendarah daging di tubuh partai yang melegenda ini.
Kala itu, Tjokroaminoto sudah tua dan kondisi kesehatannya agak memburuk, menghadapi situasi ini partai pun membentuk dua lembaga baru. Untuk memudahkan urusan partai dibentuklah lembaga Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyyah di tubuh PSII. Kedudukan Dewan Partai ini diisi oleh figur pimpinan tertetinggi PSII sementara Lajnah Tanfidziyyah sebagai lembaga eksektif diisi oleh figur-figur PSII yang lebih muda.
Berselang beberapa tahun dari pembentukan lembaga tersebut, Tjokroaminoto meninggal dunia pada 1934. Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional (1987) menyatakan bahwa semenjak PSII ditinggalkan Tjokroaminoto, ia menjadi partai yang cenderung dikuasai oleh keluarga Tjokroaminoto sendiri.
Agus Salim yang menggantikan kedudukan Tjokroaminoto sebagai Ketua Dewan Partai pada 1935, mulai merasakan goncangan tersebut dari Abukusno Tjokrosujoso, adik Tjokroaminoto. Agus Salim mendapat kritik setelah ia menganjurkan PSII untuk bersikap kooperatif dengan Pemerintah Hindia Belanda melalui pernyataannya yang dikenal dengan ‘Pedoman Politik’. Abikusno menilai Agus Salim berambisi duduk kembali di Volksraad lewat pernyataannya.
Suradi secara gamblang menyatakan Agus Salim pada dasarnya memang memiliki pandangan politik yang mendukung sikap kooperatif. Sikap ini kemungkinan besar tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pendidikan Barat di alam pikirannya.
Agus Salim melihat peluang untuk mengembangkan partai jika memakai cara kooperatif. Apalagi dengan melihat realitas sikap Pemerintah Hindia Belanda memasuki 1930-an yang mengeluarkan kebijakan lebih ketat terhadap gerak-gerik organisasi pergerakan nasional.
Agus Salim dengan pandangan politiknya yang kooperatif rupanya memperoleh dukungan yang banyak dari sesama rekan PSII. Abikusno bersama Kartosuwirjo khawatir jika ‘Pedoman Politik’ Agus Salim mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai. Maka, kelompok ini pun menyusun siasat melalui kebijakan formatur dalam kongres tahunan PSII yang secara kebetulan tidak dihadiri oleh Agus Salim. Rupanya kebijakan formatur ini digunakan Abikusno untuk menyingkirkan Agus Salim dari ranah kepimpinan partai.
Agus Salim yang melihat ketidakberesan internal PSII, bergerak di luar struktural melalui badan yang dinamakannya Badan Penjadar PSII (BP PSII). Badan ini bertujuan untuk menginsyafkan rekan-rekan sesama PSII atas kebijakan pimpinan PSII yang mulai menyimpang. Sama halnya ketika menjadi pimpinan partai, melalui BP PSII, gagasan Agus Salim banyak meraih dukungan dari sesama rekan PSII.
Abikusno yang tetap melihat Agus Salim ibarat duri dalam daging, secara radikal memecat Agus Salim beserta pendukungnya dari PSII pada 1937. Pemecatan Agus Salim menjadi pertanda kemunduran yang signifkan dari perkembangan PSII yang mulai menampakkan kemundurannya semenjak kepergian Tjokroaminoto. Agus Salim yang disingkirkan PSII kemudian membentuk Gerakan Penjadar bersama para pendukungnya.
Tinggalkan Komentar