Sudah hampir sebulan ramadan berlalu. Bulan mulia yang Allah sediakan pahala berlipat ganda bagi segenap hamba yang menunaikannya. Juga rahmat, keberkahan dan ampunan atas dosa-dosa.
Namun termasukkah kita di dalamnya? Atau jangan-jangan hanya sekadar menderita rasa lapar dan dahaga saja tanpa mendapatkan pahala, rahmat, keberkahan dan ampunan-Nya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dalam sabdanya, “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits ini sudah seharusnya menjadi renungan setiap kita di akhir ramadan. Perlu mengevaluasi diri agar pengorbanan imsak (menahan diri) dari makan, minum dan berjimak selama berhari-hari tidak berujung sia-sia.
Evaluasi dilakukan secara berkala untuk memastikan bahwa puasa hari ini lebih baik dari kemarin, puasa pekan ini lebih baik dari pekan kemarin hingga akhirnya kita mengoptimalkan diri agar puasa tahun ini lebih baik dari tahun kemarin.
Sebagai ukuran keberhasilan ramadan, maka penulis mencatat ada beberapa indikator keberhasilan ramadan bagi seseorang yang direferensikan dari berbagai pembacaan.
Pertama, bergembira dengan datangnya bulan ramadan. Bergembira berarti menyambut dengan segenap jiwa dan raga yang sudah dipersiapkan. Menatap bulan dengan penuh harap atas segala kemuliaan yang Allah sediakan lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Dalam “Lathaif Al-Ma’arif” Ibnu Rajab berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira saat pintu-pintu surga dibuka?” Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (serta mengharapkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala) tidak gembira saat pintu-pintu neraka ditutup?” Bagaimana mungkin orang yang berakal tidak gembira saat setan-setan dibelenggu?”
Kedua, menahan diri dari pembatal puasa juga menahan diri pembatal pahala puasa. Pembatal puasa memang hanya ada tiga yaitu makan, minum dan berjimak (atau mengeluarkan sperma denggan cara lain) dengan sengaja. Namun ada banyak hal yang secara fiqih tidak membatalkan hanya saja bisa merusak bahkan menghanguskan pahala puasa sama sekali.
Misalnya berkata dusta atau menebar hoax baik melaui ucapan atau tulisan. Bersikap provokatif dan gemar melontarkan hatespeach.
Rasulullah bersabda, “Puasa itu adalah perisai, jika suatu hari salah seorang di antara kalian dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia tidak berkata kotor dan berteriak-teriak. Jika seseorang mencela dan mencacinya, hendaknya ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’”Bukhari dan Muslim
Juga hadits Nabi yag berbunyi, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)
Menginterpretasi hadits di atas Ibnul Arabi dalam “Fathul Bari” menjelaskan bahwa “Konsekuensi dari hadits tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya.”
Ketiga, bertaubat dari segala dosa dan memanfaatkan lipatan pahala. Setiap kita adalah insan-insan yang berlumuran dosa. Karenanya saat Allah menyediakan ampunan di bulan ini dengan memanfaatkan ibadah-ibadah di dalamnya adalah ciri keberhasilan seseorang yang berpuasa.
Ibadah-ibadah penyerta puasa seperti salat tarawih, tilawah, sedekah, itikaf dan zakat fitrah tidak hanya mengandung ganjaran berupa ampunan juga ganjaran berupa pahala yang berlipat ganda.
Mereka tidak berhenti di bulan ramadan saja. Salat tarawih di bulan ramadan akan berlanjut di bulan-bulan lainnya dalam bentuk tahajud atau qiyamullail. Begitu pula dengan tilawah, sedekah, dan kecintaanya terhadap dakwah.
Keempat, semakin berdaya. Bulan Ramadan adalah bulan produktif. Berbagai peluang usaha muncul mengiringi berbagai aktivitas ibadah yang melingkupinya.
Memang betul dalam riwayat Baihaqi Rasulullah bersabda bahwa “Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih…”. Namun memahami bahwa berpuasa harus diisi dengan tiduran saja adalah pemahaman yang keliru. Hadits tersebut bermakna bahwa pasif saja sudah terhitung pahala apalagi aktif dan kreatif.
Tidur secukup dan sewajarnya saja bila diperlukan untuk mmenyiapkan malam yang akan diisi dengan berbagai ibadah. Dalam menjelaskan hadits tersebut Imam Al-Ghazali dalam “Ihya Ulumuddin” menegaskan, “Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih”
Seorang yang berpuasa harus semakin disiplin bekerjanya, semakin inovatif dalam usahanya atau semakin rajin dalam belajarnya. Sehingga puasa benar-benar melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berdaya.
Kelima, merasakan lapar dan dahaga orang-orang yang dhuafa. Kita hanya merasakan lapar dan dahaga dalam sebulan saja itupun hanya di siang hari. Sementara ada banyak orang-orang yang karena ketidakmampuanya merasakan lapar dan dahaga sepananjang waktu. Bisa makan pagi belum tentu sore. Bisa makan sore belum tentu bisa pagi.
Rasa lapar dan dahaga ini adalah cara Allah menumbuhkan sikap solidaritas terhadap sesama terutama kepada mereka para dhuafa. Maka mengeluarkan kewajiban zakat baik zakat fithrah ataupun zakat maal, berinfak dan bersedekah untuk memberdayakan mereka adalah hasil yang bertumbuh pada jiwa seseorang yang berpuasa.
Kelima indikator itu jika terpenuhi oleh seseorang maka akan melahirkan Ramadan yang berdampak berupa pribadi yang lebih taat, rasa kemanusiaan yang tinggi, solidaritas yang bertumbuh, anti hoax, dan semakin berdaya dengan produktif dalam berkarya.
Wallahu a’lam bishawab
Tinggalkan Komentar