Mentari pagi kini muncul kembali ke angan yang lepas di tahun itu. Aku telah kembali mengigat monokrom dengannya. Aku tahu ini terdengar gila namun hari ini aku sangat merindukannya sehingga aku kembali menginggat kenangan manisku bersama dengannya.
Aku merasa bersalah namun diri ini pun merasa cukup sakit karena aku telah menuruti kemauannya.
Kisah ini mungkin terdengar keterlaluan bagi semua insan yang tak sanggup mendengarkannya, namun bagiku semua hanyalah duka yg telah lalu. Aku bersaksi kepada Allah, bahwa diriku masih mencintainya sampai detik ini. Masih merindu akan suaranya, namun qodarullah dia harus berpulang meninggalkan kami semua.
Di malam itulah terakhir kalinya aku mendengar perkataan ikhlas dan selamat tinggal yang telah dia rangkai menjadi satu. Setelah solat isya aku dan istriku, Kalila sedang duduk di lantai, kemudian dia memanggilku “Mas ….”
“Apa Hum?” sahutku sambil menoleh ke arah wanita cantik itu.
“Mas kalo aku mau minta sesuatu, kira-kira Mas bakal nurutin gak?” tanyanya merajuk.
“Kamu mau minta apa sayang?”
“Mas janggan marah”
“Mas enggak marah. Cepetan ngomong dong, kamu mau apa? Mas pasti turutin,” desakku tak sabar.
“Hm, a–aku mau mas nikah lagi!”
“Astagfirullah, Humairah kamu sadar gak kamu barusan ngomong apa?” tanyaku kaget saat mendengar keinginnanya yang dirasa tak masuk akal
“Sumpah demi Allah Mas, aku sadar dan aku berkata seperti itu karena umurku udah gak banyak,” ucapnya perlahan.
“Sttt! Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Kamu itu harus kuat buat aku buat anak-anak kita!” Aku mulai meneteskan air mata.
“Mas aku mau kamu menikah dengan perempuan yang pandai dalam ilmu agama. Harapku, kamu bersedia memperistri Aluna, sahabatku di kantor. Karena aku yakin dia mampu menjadi istri dan ibu, buat kamu dan anak-anak,” terangnya sambil menatap diri ini.
“Hum, aku enggak mau kamu ngomong kayak gitu aku yakin kamu pasti sehat lagi dan aku gak mau kamu pergi,” tangisku semakin menjadi-jadi saat aku memeluknya.
“Mas ….”
“Kamu kenapa sayang?” tanyaku mulai panik.
“Mas harus ingat, bahwa aku ikhlas kalau nanti kamu menikah lagi. Makasih juga sudah mau menjadi imam yg terbaik dan menjadi abi yg hebat untuk anak-anak kita.”
“Sayang, udah jangan banyak ngomong ayo kita ke rumah sakit,” ajakku sambil berusaha memapahnya.
“La ilaha ilallah,”
“Hum, bangun hum! Hum!”
Setelah mengucapkan itu dia tidak pernah membuka matanya lagi, dia benar-benar meninggalkanku dan membuatku lemah di waktu yg bersamaan.
Tinggalkan Komentar