“Teacher! Teacher!”, begitulah sapaan yang sering terdengar dan begitu akrab di telinga saya belakangan ini. Hampir setiap saat saya berjalan-jalan lalu berpapasan dengan murid-murid Jazirahpithayanusorn School, mereka nyaris selalu menyapa saya seperti itu.
Keramahan anak-anak merupakan salah satu kunci yang membuat saya nyaman di sini. Meskipun sebenarnya komunikasi di antara saya dengan mereka tidak begitu lancar. Namun, inti dari keramahan mereka tetap bisa saya rasakan. Sehingga, sampai hari keenam pelaksanaan program KKN dan PPL Internasional ini, saya dapat mengikuti alur kegiatan sebagaimana mestinya.
Dalam tulisan ini saya masih akan menyambungkan sedikit pembahasan yang telah saya bentangkan kemarin. Saya merasa bahwa pembahasan ini penting sekali untuk diketahui. Kalau pun tidak terlalu penting bagi para pembaca, setidaknya dapat dirasa pentingnya oleh saya.
Para pembaca yang budiman, jika diperhatikan secara geo-historis, Krabi seolah-olah seperti menampakkan dirinya menjadi zona pembatas antara alam Melayu di bagian selatan dengan alam Siam di bagian utara. Setelah saya selidiki lebih jauh, kawasan ini nyatanya tidak dipengaruhi langsung oleh Kesultanan Islam Patani yang eksis sampai dengan awal abad ke-20.
Sekaitannya dengan itu, saya pernah bertanya kepada beberapa orang di sini mengenai komposisi religi masyarakat Krabi. Secara umum, mereka menjawab bahwa jumlah umat Islam di Krabi jumlahnya fifty–fifty alias seimbang dengan penganut ajaran Budha. Saya yang mengamati dinamika kehidupan masyarakat di Krabi, sejauh ini sedikitnya mampu membuktikan jawaban yang diberikan oleh mereka.
Sehubungan dengan itu pula agenda Siamisasi yang saya temukan dalam beberapa artikel ilmiah sebelumnya, kemungkinan benar terjadi maupun tidaknya di Provinsi Krabi masih diperlukan rujukan lebih lanjut baik dari para narasumber maupun literatur penunjang lainnya.
Persoalan yang saya rasakan manakala menyelidiki tentang hal ini ialah tidak adanya literatur yang secara detil membahas perkembangan Melayu dan Islam di Krabi. Dengan segala keterbatasan itulah, semalam saya mencoba melakukan verifikasi secara langsung tentang program Siamisasi tersebut kepada Mr. Fadil, guru ilmu sosial di Khlongyangprachanusorn School. Sayangnya, saya belum mendapatkan jawaban yang cukup memuaskan atas pertanyaan yang telah saya ajukan. Melalui tanggapan yang diberikan Mr. Fadil kepada saya tampaknya istilah Siamisasi belum terlalu dikenal oleh orang-orang di sini.
Istilah Siamisasi sepertinya dipopulerkan oleh para akademisi dari luar khususnya Indonesia yang menulis artikel mengenai dinamika Islam atau kebudayaan Melayu di Thailand Selatan. Pasalnya, penggunaan istilah ini lebih banyak saya jumpai dari artikel-artikel ilmiah yang sudah dipublikasikan di beberapa jurnal Indonesia.
Daripada harus memaksakan diri berjalan di atas keraguan maka dari itu dalam tulisan ini saya bermaksud memberikan penekanan kepada para pembaca bahwa sekaitannya dengan kasus Siamisasi di Krabi, saya belum memperoleh jawaban yang cukup meyakinkan. Namun, pelbagai kemungkinannya akan selalu bisa diperkirakan atau pun diperdebatkan.
Mohon maaf jika terdapat di antara para pembaca yang mendapatkan simpulan lain daripada yang semestinya. Semoga tidak mengurangi nilai kebermanfaatan dari tulisan ini. Aamiin.
Bumi Allah, Krabi, Kamis 7 Juli 2022.
Tinggalkan Komentar