Siapa yang tak tahu dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan? Nama tokoh pendiri Persyarikatan Muhammadiyah ini sepertinya sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Namanya kerap kali disejajarkan dengan Kyai Haji Hasjim Asy’ari yang juga adalah salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama.
Ketokohan Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam riwayat bangsa Indonesia jelas-jelas tak bisa dikesampingkan. Kiprahnya tidak terbatas sebagai tokoh yang mendirikan sebuah organisasi massa Islam terbesar. Namun juga seorang tokoh yang memiliki jasa dan sumbangsih besar bagi pembangunan Indonesia melalui amal usaha persyarikatan yang ia dirikan. Bahkan setelah ia sendiri wafat, warisan itu tetap bertahan dan semakin tumbuh subur di seantero negeri.
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah tipikal ulama yang mencurahkan perhatian dan pergerakannya untuk masyarakat. Tidak seperti ulama pada umumnya yang banyak mencetak pelbagai karya tulis, Ahmad Dahlan justru tidak menggeluti hal itu dan lebih banyak mencetak pelbagai hal yang kebermanfaatannya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat tanpa kecuali.
Surat Al-Ma’un Sebagai Motivasi Pergerakan
MT Arifin dalam Muhammadiyah Potret yang Berubah (1990), menerangkan bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan terkenal karena sering memotivasi para pengikutnya agar giat beramal shalih berlandaskan surat Al-Maun. Lebih jelas lagi, Haji Sudja’ menuturkan bahwa gurunya itu enggan melanjutkan pelajaran surat Al-Ma’un sampai murid-muridnya memahami dan mengamalkan kandungan ayat-ayatnya.
Kyai Haji Ahmad Dahlan bersama dengan murid-muridnya diriwayatkan pernah menolong anak-anak dhuafa. Setiap selesai mengaji, ia bersama dengan para muridnya bergerak bersama mengumpulkan anak-anak dhuafa di sekeliling kampung Kauman untuk dimandikan juga diberi pakaian yang layak. Saking seringnya Sang Kyai melakukan hal itu, akhirnya murid-murid Ahmad Dahlan rutin mengumpulkan uang untuk membeli sabun serta pakaian-pakaian yang layak untuk menyejahterakan kaum dhuafa.
Tak sampai di sana, Kyai Haji Ahmad Dahlan pernah membentuk sebuah perkumpulan yang bernama Fathul Ansrar wa Miftahus Sa’adah. Perkumpulan itu ditujukan Ahmad Dahlan untuk orang-orang yang broken home, pengangguran, dan anak-anak yang divonis nakal oleh masyarakat.
Merintis Wadah bagi Perempuan
Kyai Haji Ahmad Dahlan juga adalah seorang ulama yang memiliki visi yang jauh pada zamannya. Sebagai ulama yang terdampak pengaruh pembaharuan Islam dari Timur Tengah, Ahmad Dahlan punya pandangan yang kurang lazim mengenai peran dan kedudukan perempuan.
Ia bersama dengan istrinya, Siti Walidah, berusaha agar pendidikan dapat diterima juga oleh kaum Hawa. Djarnawi Hadikusuma dalam Aliran Pembaruan Islam Dari Jamaluddin Al-Afghani hingga K.H. Ahmad Dahlan (2014), menjelaskan bahwa sejak Muhammadiyah didirikan, Kyai Haji Ahmad Dahlan menyediakan rumahnya sendiri untuk pengajian perempuan. Ia sendiri beserta Nyai Ahmad Dahlan bertindak sebagai gurunya dan secara bergiliran meluangkan waktu untuk mengajar kaum perempuan.
Tindakan Sang Kyai semacam itu jelas berlawanan dengan adat dan pola pikir masyarakat masa itu. Di saat ruang gerak perempuan dibatasi. Justru, Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan berani turun secara langsung menemui para lelaki yang menjadi istri atau ayah bagi anak-anak perempuan supaya diperbolehkan izin keluar rumah untuk mengaji.
Bukti keseriusan Kyai Haji Ahmad Dahlan mengenai persoalan perempuan ini dibuktikan dengan dibentuknya sebuah perkumpulan bernama Sopo Tresno pada 1914. Pembentukan perkumpulan ini merupakan respon terhadap pernyataan sinis Dr. Zwemmer, yang mengatakan bahwa Islam tidak memerhatikan masalah perempuan.
Empat tahun berikutnya, guna menguatkan komitmen terhadap kemajuan taraf hidup perempuan. Perkumpulan Sopo Tresno secara resmi berganti nama menjadi ‘Aisyiyah dan menjadi organisasi otonom Persyarikatan Muhammadiyah pada 22 April 1918.
Pada perkembangannya, organisasi perempuan di bawah naungan Persyarikatan Muhammadiyah ini dapat bergerak secara meyakinkan walau tidak begitu signifikan. Dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah pada 1923, ‘Aisyiyah dilaporkan sudah dapat memenuhi kebutuhan kaum perempuan dengan menyelenggarakan beberapa kegiatan khusus bagi perempuan.
Memasuki tahun 1930-an, ‘Aisyiyah sudah berhasil mendirikan masjid perempuan di Garut dan Sumatra. Ada pun, yang lebih mengesankan terjadi sekitar tahun 1942. Saat itu ‘Aisyiyah berhasil mendirikan rumah bersalin dan balai kesehatan untuk ibu dan anak.
Bukti Pengaruh Pelajaran Al-Ma’un pada Sang Murid
Spirit Al-Ma’un yang ditekankan Kyai Haji Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya rupanya sangat berpengaruh kepada mereka. Haji Sudja’ salah seorang murid Ahmad Dahlan merintis sebuah lembaga bernama Penolong Kesengsaraan Umum (PKU).
Awalnya aktivitas lembaga ini berkutat pada kegiatan-kegiatan untuk menolong masyarakat yang terdampak musibah. Salah satunya yang tercatat adalah menolong korban musibah letusan Gunung Kelud di Jawa Timur. Seiring waktu, PKU bentukan Hadji Sudja’ resmi menjadi majelis di bawah Persyarikatan Muhammadiyah pada 17 Juni 1920.
Semenjak berada di bawah Muhammadiyah, PKU semakin aktif bergerak dalam persoalan kemanusiaan. PKU berhasil menampung 16 orang yang sudah kehilangan tempat tinggal, membangun rumah jompo, dan panti bagi yatim piatu, memberikan pertolongan untuk pengurusan jenazah, pertolongan untuk para musafir, dan terlibat dalam pembagian daging kurban.
PKU juga berhasil mendobrak kebiasaan lama dalam pembagian zakat fitrah. Melalui PKU Muhammadiyah, hasil zakat fitrah disalurkan kepada mustahik yang benar-benar membutuhkannya. Hal ini jelas berbeda dengan kebiasaan pada waktu itu yang seringkali disalurkan kepada para pejabat agama maupun guru agama.
Tak hanya itu, PKU Muhammadiyah mulai merintis pembangunan rumah kesehatan pada awal 1920-an. Berawal dari pendirian poliklink-poliklinik, PKU akhirnya mampu mendirikan rumah sakit. Hal ini terjadi lantaran muncul keinginan dari Haji Sudja’ untuk mendirikan rumah sakit seperti orang-orang Kristen.
Kehadiran fasilitas-fasilitas kesehatan yang diinisiasi oleh PKU ini dimanfaatkan Muhammadiyah untuk menyebarluaskan dakwah kepada masyarakat. Setiap pasien yang berobat ke klinik Muhammadiyah secara tegas diingatkan oleh petugas kesehatan untuk tidak lagi berobat kepada dukun.
Melihat kiprah dan jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan mengurus umat lewat persyarikatannya membuat kita sadar bahwa investasi terbaik adalah amal shalih yang dapat dirasakan kemaslahatannya oleh orang lain. Meski jasad sudah tak lagi dikandung badan, Kyai Haji Ahmad Dahlan lewat investasinya itu telah memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia selama lebih dari seratus tahun, bahkan sampai detik ini.
Semoga Allah merahmati Kyai Haji Ahmad Dahlan juga memelihara persyarikatan yang telah ia dirikan. Aamiin.
Tinggalkan Komentar