Bertepatan dengan hari lahir Sukarno ini, kita perlu mengetahui bagaimana perjalanan kehidupan Sang Proklamator Bangsa. Berbagai kisah kehidupan yang penuh lika-liku telah beliau jalani termasuk kisah cintanya sendiri. Banyak orang lebih mengenal Fatmawati, Sang Ibu Negara yang mendampingi Sukarno ketika masa kemerdekaan. Namun, sebelum Fatmawati datang dalam kehidupan Sukarno, ada satu sosok perempuan yang setia dan mendukung perjalanan Sukarno untuk mencapai cita-citanya yaitu Indonesia Merdeka.
Ada pepatah mengatakan bahwa di balik laki-laki sukses, ada perempuan hebat di belakangnya. Hal tersebut cocok disematkan kepada sosok yang tak kenal lelah mendampingi Sukarno dalam masa pergerakan nasional, perempuan itu ialah Inggit Garnasih. Perempuan yang Sukarno nikahi pada tanggal 24 Maret 1923. Selama 20 tahun, Inggit setia membersamai Sukarno walaupun berbagai rintangan menghadapi keduanya. Mari kita menggali seberapa besar peran Inggit bagi kehidupan Sukarno dalam proses mencapai kemerdekaan Indonesia.
Andi Suwirta dalam artikel ilmiah Inggit Garnasih, Soekarno and the Age of Motion in Indonesia menjelaskan bahwa Inggit Garnasih lahir pada tanggal 17 Februari 1888 di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Beliau merupakan putri dari pasangan Amsi dan Ardjipan. Beliau dikenal sebagai perempuan yang cantik, periang dan mudah bergaul.
Perjalanan kehidupan Inggit tidaklah berjalan mulus khususnya dalam kehidupan rumah tangga beliau. Sebelum menikah dengan Sukarno, Inggit sempat mengarungi bahtera rumah tangga bersama Kopral Nataatmadja dan Haji Sanusi. Perjalanan rumah tangga Inggit bersama Kopral Nataatmadja maupun H. Sanusi tidak bertahan lama. Inggit mulanya menikah dengan Kopral Nataatmadja, namun tidak bertahan lama. Selanjutnya, Inggit menikah lagi dengan H. Sanusi yang merupakan pengusaha sekaligus tokoh Sarekat Islam di Jawa Barat.
Selepas bertemu Sukarno yang kebetulan merupakan mahasiswa Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) yang tinggal di kost-an milik Inggit, Inggit dan Sukarno sama-sama saling jatuh hati, yang kemudian Inggit memilih bercerai dengan H. Sanusi dan Sukarno memilih bercerai dengan Utari, istri Sukarno putri dari H.O.S Cokroaminoto. Hingga pada akhirnya kisah cinta Inggit dan Sukarno berlabuh di pelaminan pada tanggal 24 Maret 1923. Saat itu, Sukarno berusia 22 tahun dan Inggit berusia 35 tahun. Ketika mereka menikah, Sukarno masih mengenyam pendidikan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, Inggit senantiasa membantu Sukarno dan memiliki usaha seperti membuat dan menjual bedak dingin, jamu, kain batik dan lainnya.
Perjalanan rumah tangga Inggit dan Sukarno ini sangat harmonis namun berbagai rintangan terus menghadapi keduanya. Dimana telah kita ketahui, pasca lulus dari Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB), Sukarno terjun ke dalam ranah politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kegiatan politik yang membutuhkan biaya cukup besar ini, Inggit sebagai istri memberi dukungan materil dengan menggadaikan perhiasan dan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu kegiatan politik Sukarno. Inggit senantiasa membersamai dalam setiap perjuangan Sukarno demi kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Setiap agenda rapat PNI ini, Inggit selalu membersamai Sukarno.
Aktivitas politik yang dilakukan Sukarno pada masa pergerakan nasional ini sangat mengkritisi pemerintah kolonial Belanda dan bersikap tidak kooperatif dengan Belanda. Sukarno juga seringkali menggaungkan semangat kemerdekaan kepada para rakyat. Hal ini dapat terlihat ketika Sukarno memberikan pidatonya di Yogyakarta dan Solo pada tanggal 29 Desember 1929. Karena hal tersebutlah Sukarno dan beberapa rekannya ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Selama Sukarno mendekam di penjara, Inggit tentunya selalu menjenguk Sukarno bahkan pernah menyelundupkan buku yang Sukarno perlukan ke dalam penjara. Menurut Reni Nuryanti (dalam Iswara N. Raditya) dalam artikel Inggit Garnasih, Mengantarkan Sukarno sampai Gerbang Kemerdekaan, penyelundupan buku ini berhasil dan buku yang diselipkan di perutnya dibalik kain kebaya tidak diketahui oleh penjaga, maka Inggit harus berpuasa selama 3 hari. Inggit juga menjadi perantara Sukarno agar jalinan komunikasi dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya bisa tetap berjalan. Sukarno akhirnya bisa kembali menghirup udara bebas setelah mendapat potongan hukuman pada tanggal 31 Desember 1931.
Lika-liku perjalanan rumah tangga Inggit dan Sukarno tidak sampai disitu. Sukarno yang masih bersikap tidak kooperatif dan kontra dengan Belanda, membuat Sukarno diasingkan ke wilayah terpencil yaitu diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di pengasingan ini, Inggit tetap membersamai dan memberikan dukungan untuk Sukarno. Bahkan ketika Sukarno terjangkit malaria di pengasingan, Inggitlah sosok yang sabar mengobati dan merawat Sukarno. Pada Februari 1938, Sukarno dipindahkan pengasingannya ke Bengkulu, Sumatera. Di Bengkulu pun, Inggit setia membersamai Sukarno. Inggit memberikan dukungan kepada Sukarno ketika Sukarno sedang memperjuangkan kemerdekaan bersaama aktivis pergerakan nasional lainnya. Di Bengkulu ini jugalah, perjalanan rumah tangga Sukarno dan Inggit harus berakhir pada tahun 1943.
Sebagai seorang istri yang taat terhadap suaminya, Inggit selalu menemani Sukarno dalam setiap keadaan. baik itu dalam keadaan bahagia maupun sedih. Lika-liku kehidupan telah mereka lalui, berbagai rintangan yang menerpa mereka, mereka selesaikan bersama. Perjuangan yang dihadapi Sukarno pada masa pergerakan nasional ini cukup berat, namun tak sekalipun Inggit berniat untuk meninggalkan Sukarno bahkan Inggit ikut menemani Sukarno di tempat pengasingan. Inggit dalam hal ini mempunyai peranan yang penting bagi Sukarno baik itu dalam bentuk fisik maupun psikis dan materil maupun immateril. Inggit mampu membersamai Sukarno hingga pada akhirnya mengantarkan ke gerbang kemerdekaan Indonesia.
Sumber :
Suwirta, A. 2009. Inggit Garnasih, Soekarno and Age of Motion in Indonesia. Tawarikh : International Journal for Historical. Vol. 1. No.1.
Tinggalkan Komentar