Usai isya, usai makan malam, usai ngobrol di our time not me time, perempuan berdaster biru itu ngeloyor masuk kamar sambil mencolek lelakinya, “Sini o Pak…”
Si Pak manut mengikutinya sambil memasang kacamata.
Perempuan itu mengeluarkan benda kotak agak tipis dari tas kanvas coklat yang leseh. Dia buka kotak abu itu dan sesaat kemudian kotak berlayar itu menjadi pusat dua pasang mata memandang.
Berdua terlihat saling berbisik dan terkadang berdebat lirih, berharap sang anak tidak mendengar.
“Di dua bulan ke depan banyak hal yang tidak bisa kita selesaikan. Njut piye iki?” keluh perempuan kurus berwajah tirus.
Si Pak memperbaiki letak kacamatanya, meski sebenarnya kacamata itu sudah pas ditempatnya nangkring.
“Bukan tidak bisa, belum bisa tepatnya,” gumam lelaki kurus itu tanpa melepaskan pandangannya dari layar monitor yang penuh berisi angka.
Si perempuan itu menahan galau di suaranya,”Usaha kita rasanya jauh dari yang kita perhitungkan.”
“Cara kita menghitung sangat beda dengan cara DIA menghitung,” lelaki itu bergumam sambil beranjak keluar kamar.
Perempuan kurus itu hanya bisa terpaku menatap segala angka dalam hitungannya. “Trus?!” teriaknya tertahan
Si Pak menghentikan langkahnya di ambang pintu kamar, “Kita berusaha selesaikan hitungan kita, lalu serahkan padaNYA akhir hitungan kita ini.”
Perempuan kurus berwajah tirus tertunduk pilu. Basah bola matanya mengiringi desah halus dari bibir pucat, “Jangan tinggalkan aku tanpa ampunanMU, jangan KAU lalaikan aku dalam usaha atas ujianMU.”
Buram segala yang dia lihat.
La haula wala quwwata illa billah
Tinggalkan Komentar