Di tanah tempat angin berbicara lewat daun, dan sejarah bersarang dalam bambu tua, lahirlah seorang lelaki yang langkahnya menggetarkan bumi Sunda. Namanya Dedi Mulyadi — sosok yang lebih mirip legenda ketimbang politisi, lebih seperti dongeng yang menolak.." />Di tanah tempat angin berbicara lewat daun, dan sejarah bersarang dalam bambu tua, lahirlah seorang lelaki yang langkahnya menggetarkan bumi Sunda. Namanya Dedi Mulyadi — sosok yang lebih mirip legenda ketimbang politisi, lebih seperti dongeng yang menolak.." />Di tanah tempat angin berbicara lewat daun, dan sejarah bersarang dalam bambu tua, lahirlah seorang lelaki yang langkahnya menggetarkan bumi Sunda. Namanya Dedi Mulyadi — sosok yang lebih mirip legenda ketimbang politisi, lebih seperti dongeng yang menolak.." />
Rp45.000
Judul : Bapa Aing Maung Aing
Penulis: Kang Suhe
ISBN : Dalam Antrian
Tahun Terbit: 2025
Cetakan: Pertama
Isi: Bookpaper 80 halaman
Cover: Softcover
Penerbit: CV. Rumah Literasi Publishing
Sinopsis Buku:
Di tanah tempat angin berbicara lewat daun, dan sejarah bersarang dalam bambu tua, lahirlah seorang lelaki yang langkahnya menggetarkan bumi Sunda. Namanya Dedi Mulyadi — sosok yang lebih mirip legenda ketimbang politisi, lebih seperti dongeng yang menolak usang meski zaman terus berganti rupa.
Bapa Aing Maung Aing adalah lebih dari sekadar julukan. Ia adalah mantra perlawanan terhadap kepalsuan, sebuah deklarasi dari seorang yang menolak tunduk pada kebiasaan yang stagnan. Di balik senyumnya yang sering dituding nyinyir, tersimpan tekad seekor maung — yang berjalan bukan untuk menakuti, tapi untuk membangunkan. Yang mencakar bukan karena benci, tapi karena cinta yang dalam pada tanah, pada manusia, pada budaya yang nyaris punah.
Buku ini adalah perjalanan seorang anak manusia yang memeluk leluhurnya erat, sembari menatap masa depan dengan mata terbuka. Ia menulis bukan dengan pena, tapi dengan jejak langkah di jalan-jalan kampung, di pasar tradisional, di tengah sawah, dan di bawah langit yang akrab dengan doa-doa petani, orang lemah, dan orang miskin. Kata-katanya lahir dari tanah — bukan dari menara gading; tapi dari lumpur perjuangan.
Dalam setiap halamannya, kita akan menemukan api. Kadang hangat, kadang membakar. Tapi selalu jujur. Karena inilah kisah tentang menjadi maung di zaman yang mengajarkan kita jadi domba. Inilah kisah tentang tetap jadi aing saat dunia memaksa kita jadi bayang-bayang.
Stok 100